TEMPO.CO, Ternate - Warga Ternate, Maluku Utara masih mempertahankan sejumlah tradisi saat melakukan pendakian ke Gunung Gamalama. Hal itu dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal warisan leluhur.
Jafar Noho, salah satu tokoh Ternate, mengatakan beberapa hal yang masih dipertahankan itu, antara lain, prosesi membaca doa kere fere sebelum mendaki. Prosesi ini dipimpin oleh juru kunci Gunung Gamalama.
"Warga dari luar Ternate, termasuk wisatawan mancanegara yang melakukan pendakian di Gunung Gamalama juga selalu berusaha mematuhi tradisi itu," kata, Jafar Noho di Ternate, Kamis, 2/8.
Selain itu, kata Jafar Noho, kepercayaan lain yang masih dipegang adalah jumlah orang dalam satu kelompok yang mendaki sebaiknya genap, misalnya empat atau enam orang. Karena kalau jumlahnya ganjil, dipercayai salah seorang di antaranya akan mendapat celaka.
Tradisi lain adalah tidak boleh membawa minuman keras dan dilarang mengucapkan kata-kata kotor, misalnya memaki orang lain. Saat berada di puncak gunung juga tidak boleh kencing sembarang tempat, terutama didekat kompleks kuburan tua.
Komplek pemakaman itu diyakini sebagai kuburan para wali yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku Utara.
Jafar Noho mengatakan di puncak Gunung Gamalama ada mata air di celah batu yang dikenal dengan nama mata air abdas. Air dari sumber ini dipercaya warga setempat bisa menjadi obat menyembuhkan berbagai penyakit dalam.
Gunung Gamalama adalah salah satu objek wisata yang terus dipromosikan Pemerintah Kot aTernate, karena menawarkan pemandangan indah. Saat di puncak gunung para pendaki akan bisa melihat hamparan perkebunan cengkih dan pala. Dan di kejauhan akan tersaji panorama Pulau Tidore dan laut Halmahera.
ANTARA