TEMPO.CO, Sleman – Zusanna Zas selalu membawa bekal jahe dan bawang putih tiap mendaki gunung. Dua jenis bumbu dapur itu pun dikantonginya saat melakukan pertualangan ke sejumlah gunung es di luar negeri. Dua bumbu dapur itu dibawa lantaran sifat jahe yang menghangatkan tubuh dan bawang putih yang mencegah perut kembung karena hawa dingin minus puluhan derajat di gunung-gunung bersalju.
“Jahe dan bawang putih itu dikunyah,” kata Susi, panggilan akrabnya, saat berbagi pengalaman dalam diskusi berjudul Srikandi Indonesia Mencapai Puncak Dunia yang digelar Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta, di Camp XXV, Sleman, Sabtu, 7 April 2018.
Baca juga: Cerita Lain tentang Gunung Otgontenger
Perempuan yang berprofesi sebagai dokter umum di rumah sakit swasta di Soroako, Sulawesi Selatan, itu menjelaskan, jahe dan bawang putih itu cukup mumpuni untuk memulihkan stamina tubuh. Terutama saat mengalami acute mountain sickness (AMS), salah satu penyakit ketinggian.
AMS dibagi menjadi tiga kategori. AMS ringan ditandai dengan perut mual, kepala pusing, serta muntah. AMS sedang mulai menyerang paru sehingga pendaki mengalami sesak napas. AMS berat biasanya menyerang otak sehingga mempengaruhi kesadaran pendaki.
“Kalau mengalami AMS, pendaki harus tanggap dan langsung turun. Melakukan aklimatisasi,” kata Susi yang sudah berpetualang ke sejumlah gunung di Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Pamir.
Aklimatisasi adalah upaya menyesuaikan diri dengan ketinggian, karena setiap peningkatan ketinggian disertai perubahan dalam sistem tubuh. Adaptasi tubuh bermanfaat untuk meningkatkan kadar hemoglobin darah agar oksigen dalam darah bertambah. Risiko AMS bisa dialami pendaki setelah berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter dari permukaan laut (mdpl).
“Baik saat mendaki gunung es atau pun gunung tropis, sama risikonya kena AMS,” kata Susi. Namun kondisi medan di gunung es lebih berat, Susi melanjutkan, sehingga cukup menyulitkan pendaki untuk turun mencari lokasi yang lebih rendah. Apabila di sekitar pendaki ada lokasi evakuasi, pendaki yang mengalami AMS harus segera dibawa ke sana.
Susi pernah mengalami AMS saat mendaki Gunung Kala Patthar di Nepal dengan ketinggian 5.644 mdpl pada 2008. Saat mendaki, dia merasakan jalurnya mudah dilalui sehingga perjalanan terasa cepat. “Jalannya enak dan kecepatan. Tapi kok pusing. Terus ngunyah bawang putih, jahe, istirahat,” kata Susi.
Pengalaman Susi membaur dengan gunung telah dilakoni sejak SMA. Perempuan kelahiran Duri, Riau, 50 tahun lalu itu, mengawali pertualangannya di Lembah Harau dan Gunung Singgalang di Sumatera Barat. Dan ketika kuliah di Universitas Trisakti, Jakarta, kegemaran Susi mendaki gunung pun disalurkan lewat organisasi mahasiswa pecinta alam Aranyacala. Tak sebatas gunung-gunung di Indonesia, Susi pun menjajal gunung-gunung es di sepanjang Pegunungan Himalaya di Nepal dan Pegunungan Pamir di Asia Tengah.
Selain Gunung Kala Patthar, Susi pernah mendaki Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania pada 2009, Gunung Mera Peak (6.476 mdpl) di Nepal pada 2010, Gunung Chulus West (6.419 mdpl) di Nepal pada 2013, Gunung Kinabalu (4.095 mdpl) di Sabah pada 2016, Gunung Labuche East (6. 119 mdpl) di Nepal pada 2016, dan Gunung Korzhenevskaya (7.105 mdpl) di Tajikistan pada 2017. Dia mengandalkan informasi dari Internet untuk melakukan pendakian ke luar negeri. “Nabung dulu setahun, baru berangkat bareng suami,” ucapnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Artikel Lain: Musim Pendakian Dibuka, Tip Aman Menjelajah Gunung