TEMPO.CO, Jakarta - Matahari nyaris hilang, tertelan pengunungan hulu Sungai Mahakam, dari sebuah kampung, kawasan terpencil berbatas darat dengan Malaysia, wilayah Kecamatan Long Bangun, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Sorotnya tak lagi panas menyengati "burung-burung enggang", yang menari berputar-putar mengelilingi titik semu yang telah disepakati bersama, di halaman lamin adat setempat.
Burung-burung itu diperankan oleh pemuda-pemuda adat Dayak yang tengah menjalani Ritual Hudoq Kawit. Mereka bergerak mirip menari yang dimaknai sebagai ungkapan rharapan masyarakat adat Dayak kepada penguasaha alam. Ungkapan besar atas padi yang mereka tanam, agar tumbuh dan bisa dipanen, dijaga oleh arwah leluhur dari gangguan.
"Ritual adat Hudoq Kawit ini digelar karena kemarin kami sudah selesai menanam padi ladang. Jadi, ini merupakan upacara sakral untuk yang kuasa," kata Petinggi Kampung Long Bagun Ulu Petrus Higang Lasah, 11 November 2017 .
Ada 50-an orang yang menjalani ritual ini. Lelaki dewasa mengenakan topeng kayu bermoncong panjang, menyerupai paruh Enggang, burung khas pedalaman Kalimantan. Bulu Burung Enggang ditancapkan pada tapung (topi) yang berada di atas topeng. Beberapa lapis daun pisang menjadi pakaian penutup pundak hingga kaki pelaku ritual.
Sebagian remaja putri dan kaum ibu mengenakan Bahau, pakaian adat Dayak. Sebagian lainnya mengenakan penutup badan atas putih, dan daun pisang yang dirancang seperti rok sebagai penutup bagian bawah. Tanaman rambat yang dilingkarkan pada kepala mereka, menyerupai topi.
Anak-anak pun menjalani ritual. Mengenakan baju dari kulit binatang, yang masih utuh bulunya. Mereka tetap berkeliling, menggerakkan tangan, menghentakkan kaki berirama, mengikuti suara bedug yang ditabuh
Petrus Higang ikut menari di halaman lamin. Memakai Hudoq lengkap seperti baju dari daun pisang dan topeng Hudoq.
Lamin Adat Kampung Kong Bangun Ulu padat oleh warga berbagai kampung yang tersebar di Kecamatan Long Bangun, Mahakam Ulu. Berjubel di jalan dan pinggiran lamin.
Saat matahari benar-benar pergi, ritual diakhiri. Namun tarian berlanjut pada malam hari yang membolehkan penonton masuk dalam barisan penari.
Hudoq Kawit rutin digelar setiap tahun di kisaran bulan Oktober, awal musim hujan yang menandai masa tanam padi. Di tanah itu, padi yang ditanam merupakan padi gunung, yang bertumpu pada musim hujan saja. Setahun mereka panen satu kali.
Masyarakat adat di sana percaya padi sebagai makanan pokok merupakan pemberi kehidupan yang baik bagi manusia dan binatang pemakan tumbuhan. Menurut Petrus, padi merupakan tanaman ciptaan sang penguasa yang mampu memberikan kehidupan, sehingga harus diperlakukan secara khusus sebagai tanda terima kasih.
Ritual Hudoq Kawit dimaksudkan sebagai undangan kepada ruh dari langit, yang akan menjaga tanaman padi sampai berbuah dan memperoleh panen memuaskan. "Topeng Hudoq yang kami pakai ini jelmaan ruh dari atas sana yang diperintahkan oleh nenek moyang kami. Ruh-ruh yang menjelma menjadi topeng inilah yang menjaga tanaman padi kami," kata dia sambil menunjuk topeng, kemudian menunjuk langit.
Hudoq Kawit akan diikuti serangkaian adat lain. Ritual ketika padi mulai berisi (emping), dan ritual sebagai bentuk syukur setelah mereka panen.
Pada ritual ketika padi mulai berisi, mereka mengambil sebagian kecil padi ketan muda (emping), memasak dengan bungkus daun pisang. Masakan emping ini dimakan berbarengan.
Ritual panen lebih meriah. Ketika doa atau pengharapan terwujud; panen memuaskan, beberapa hewan dibawa untuk disembelih dan dimakan bersama. Tamu dan beberapa tetangga kampung diajak ikut merayakan.
Mulai tahun depan, upacara adat Hudog ini hendak dijadikan gema tradisi budaya warga perbatasan oleh Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu. Agenda ini diusulkan ke Kementerian Pariwisata. Lama kegiatan nantinya 10 hari beruntun, mulai 20 Oktober. Nantinya agenda ini disertai agenda berbagai kuliner daerah dan atraksi budaya, serta akan melibatkan sesepuh adat.
ANTARA
Berita lain:
Kenapa Hati Raisa Andriana Tertambat pada Yogyakarta
7 Resto Menu Nusantara yang Layak Dicoba di Jakarta
ANTARA