Destinasi Wisata Sejarah Agung yang Terlupakan
Reporter
Non Koresponden
Editor
Ludhy Cahyana
Selasa, 13 Agustus 2019 09:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pariwisata menetapkan strategi menggaet wisatawan. Salah satunya, lokasi tersebut bisa untuk berswafoto. Namun, esensi berwisata bukan sekadar swafoto dan bergembira ria, namun ada sisi edukasi yang juga tak kalah pentingnya. Misalnya, sejarah bangsa untuk mengenal jati diri dan karakter sebuah bangsa.
Berikut beberapa destinasi wisata sejarah yang ditopang pemandangan indah. Namun popularitasnya tak terdengar keras di ruang publik.
Rumah Pembuangan Soekarno, Ende
Banyak cerita tersimpan di dalam rumah sederhana, beratap seng, di Jalan Perwira, Ende, ini. Di rumah ini, Sukarno tinggal bersama Inggit Ganarsih, istrinya; Ibu Amsi, mertuanya; dan dua anak angkat ketika diasingkan Belanda ke Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu. Rumah Sukarno mempunyai tiga kamar. Ada foto-foto Sukarno muda di sana, lukisan-lukisan karyanya, biola kesayangannya, juga naskah-naskah tonil yang dia tulis untuk dipentaskan di rumah teater setempat.
Sukarno tinggal di Ende mulai 1934 sampai 1938. Sekitar 100 meter dari rumahnya, terdapat sebuah tanah lapang. Orang Ende menyebutnya Lapangan Pancasila. Patung Sukarno seukuran orang tegak di tengahnya. Di dekat patung itu merimbun sukun bercabang lima, menaungi sebuah bangku panjang. Kepada Cindy Adams, penulis biografinya, Sukarno bercerita bahwa ia sering menghabiskan waktu berjam-jam merenung di bangku itu. Ketika itulah, menurut Sukarno, dia mendapatkan gagasan tentang Pancasila.
Ende bisa didatangi dengan pesawat dari Kupang atau Denpasar. Selain rumah Sukarno, ada banyak obyek menarik lain di sekitar kota itu. Danau tiga warna Kelimutu cuma dua jam bermobil dari sana.
Sawahlunto, Sumatera Barat
Di Sawahlunto, sejarah merambat pada seng tua, rumah-rumah kayu, tiang tinggi dengan sice berpagar tembok, rel, juga terowongan Mbah Suro. Ini bekas galian tambang batu bara yang membelah kota kecil di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Terowongan ini dibuat pada 1898 oleh geolog Belanda, W.H. van Greve, 30 tahun setelah ia menemukan cadangan batu bara terbesar di Sumatera itu.
Panjangnya 700 meter. Gua tambang ini ditutup pada 1932 karena air tanah merembes tak terkendali menggenangi jalur pengerukan. Karena itu, di bawah Kota Sawahlunto masih tersimpan sedikitnya 14 ribu ton batu bara yang belum terkeruk. Hingga 2007, gua itu ditutup sampai wali kota dijabat Amran Nur. Pengusaha 67 tahun itu menggali ulang gua ini lalu membukanya untuk umum pada 23 April 2008. "Butuh delapan bulan untuk menyedot airnya," kata Medi Iswandi, Kepala Dinas Pariwisata Sawahlunto.
Tak semua air bisa disedot. Pemerintah kota hanya mampu menggali hingga kedalaman 15 meter sepanjang 186 meter. Itu pun sudah ditambah saluran udara agar pengunjung bisa memasukinya. Dan sejarah gua itu terekam di museum tambang yang dibangun di bekas reruntuhan rumah mandor Mbah Surono di muka gua.
Selain kapak dan sekop, ada foto-foto orang rantai – menyebut orang-orang yang dirantai kaki dan tangannya -- yang diangkut dari Padang. Para narapidana pemerintah Hindia Belanda itulah yang bekerja mengeruk batu bara untuk diekspor ke Eropa. Tak ada catatan berapa ribu orang rantai mati di gua itu.
Di ujung terowongan, berdiri Goedang Ransoem, dapur umum tempat memasak untuk buruh-buruh tambang itu. Foto-fotonya lengkap menggambarkan suasana saat penambangan masih berjaya dan rumah-rumah penduduk masih terjaga. Halamannya kini jadi ruang publik, tempat orang Sawahlunto menghabiskan sore yang sejuk dengan nongkrong atau berolahraga, sambil menyesap sejarah kota yang didirikan pada 1888 itu.
Gua Harimau, Sumatera Selatan
Situs prasejarah ini terletak di perbukitan karst, sekitar satu kilometer dari Desa Padangbindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Pengunjung harus mendaki lereng yang cukup terjal, licin, dan banyak lintahnya untuk mencapai gua ini. Mulut gua tersembunyi di balik pohon tinggi, rumput, dan semak belukar. Di kaki bukit, mengalir Aek Kaman Basah, kali kecil yang bermuara di Sungai Ogan.
Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menemukan 17 kerangka manusia kuno, alat-alat serpih dari rijang dan obsidian, serta lukisan gua di sini. Ini menakjubkan. Selama puluhan tahun penelitian arkeologi di Indonesia, baru di sana ditemukan lukisan gua di wilayah barat Nusantara.
Komunitas Gua Harimau diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun lalu. Berbeda dengan Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, dan Homo mojokertensis yang musnah pada zaman Pleistosen, ras manusia purba di Gua Harimau diyakini bertahan sampai sekarang. Arkeolog menduga mereka ras Neo Mongoloid dan Australoid. Mereka diperkirakan tiba di Sumatera sekitar 4.000 tahun lalu, setelah berakhirnya Zaman Es.
<!--more-->Pembuangan Kolonial, Boven Digul, Papua
Memisahkan diri dari Merauke, Papua, pada 2002, Boven Digul merupakan tanah pengasingan yang amat terkenal di zaman kolonial. Mohammad Hatta, Sayuti Melik, Sutan Sjahrir, dan tokoh pergerakan Mas Marco Kartodikromo pernah dibuang ke sini.
Mula-mula pemerintah Hindia Belanda menggunakan tempat ini pada 1927 untuk mengasingkan pemberontak. Lokasi pembuangan ada di beberapa tempat: Tanah Merah, Gunung Arang, zona militer, dan Tanah Tinggi. Bung Hatta datang membawa 16 peti buku. Dia rajin menulis selama di sana. Sjahrir lain lagi. Begitu tiba, dia disuruh menebang kayu dan membangun rumah sendiri. Awalnya Sjahrir suka mandi di Sungai Digul. Tapi, begitu mendengar cerita di sana banyak buaya, dia buru-buru pindah ke Kali Bening.
Pemerintah daerah kini mengembangkan Boven Digul sebagai daerah wisata terpadu. Peninggalan Belanda yang masih ada antara lain rumah sakit, penjara bawah tanah, makam tawanan, dan rumah panjang (loods) di Tanah Merah. Selain itu, pendatang bisa menyaksikan keindahan burung 12 antene dan cenderawasih kaisar; bertemu dengan suku Korowai, yang tinggal di rumah pohon; serta menikmati sajian budaya lokal.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Papua
Jejak seni ukir suku Asmat yang bernilai tinggi dirawat di sini. Terletak di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, museum ini menyimpan berbagai pahatan kayu, patung, panah dan anak panah, parang, tombak, perisai, serta atribut untuk perang dan tari-tarian. Di salah satu sudut museum, tergantung tengkorak kepala musuh, sisa prosesi perang di masa lalu.
Agats bisa dicapai dengan kapal laut dari Pelabuhan Pomako Timika atau dengan penerbangan lokal. Boleh dibilang, ini kota di atas rawa. Mayoritas orang Agats bekerja sebagai nelayan. Sebagian besar rumah mereka dan bangunan di sana, termasuk museum, merupakan rumah panggung. Mereka terhubung oleh jalan setapak dari jembatan papan setinggi sekitar satu meter.
Museum Kebudayaan dan Kemajuan dikelola gereja Katolik setempat, Keuskupan Agats. Setiap tahun, setelah Festival Budaya Asmat pada Oktober, isi museum ini bertambah. Semua ukiran yang dinilai paling baik dalam festival itu disimpan di sana.
Museum Batik Danar Hadi, Solo
Ribuan koleksi batik dari berbagai zaman disimpan museum ini, termasuk yang berusia lebih dari seabad. Koleksi dipajang sesuai dengan tahun pembuatan, asal batik, dan budaya yang mempengaruhi. Ada Batik Djawa Hokokai, Batik Pengaruh India, Batik Keraton, Batik Pengaruh Keraton, Batik Sudagaran, Batik Petani, Batik Indonesia, Batik Danar Hadi, hingga batik kontemporer.
Terletak di Jalan Slamet Riyadi, jalan utama di Kota Solo, Jawa Tengah, Museum Batik Danar Hadi mudah dijangkau dari mana pun. Dari bandar udara, pengunjung bisa menumpang Solo Batik Trans, yang lewat persis di depan museum. Kalau datang berombongan dan ingin perjalanan yang unik, pengunjung boleh menyewa kereta uap wisata. Tentunya dengan merogoh kocek jutaan rupiah.
Museum batik berada satu kompleks dengan House of Danar Hadi. Harga tiket masuknya Rp 25 ribu per orang, khusus untuk rombongan pelajar Rp 15 ribu per tiket. Pemiliknya, Santosa Doellah, mengintegrasikan museum, gerai batik, workshop batik, restoran, dan gedung pertemuan dalam satu kompleks. Pengunjung bisa berwisata sejarah sekaligus berbelanja dalam sekali berkunjung.
Kalau belum puas menyaksikan koleksi yang dipajang, pengunjung boleh melongok ke bagian belakang museum. Di sana akan terlihat ratusan perajin sibuk bekerja membuat batik tulis dan cap.
Museum Malang Tempo Doeloe, Jawa Timur
Museum ini memamerkan beragam benda purbakala, seni, dan budaya yang pernah hadir dalam sejarah Malang. Dari ruang ke ruang, pengunjung diantar untuk mengenal asal-usul Malang, bahkan dari zaman prasejarah.
Ada pula lorong berisi foto-foto zaman dulu. Masuk lorong ini, pengunjung dibawa menuju 1.500 tahun yang lalu, ketika kawasan sekitar Malang baru terbentuk akibat letusan gunung berapi. Semula berupa danau, cekungan akibat letusan gunung purba itu lambat-laun berubah menjadi rawa-rawa yang dikelilingi pegunungan Anjasmara, Arjuna, Welirang, Kawi, Bromo, dan Semeru.
Pengunjung juga diajak merasakan menjadi arkeolog, melakukan pekerjaan ekskavasi di ruangan bawah tanah selebar 3 meter, panjang 6 meter, dan kedalaman 2,5 meter. Di lorong ekskavasi, dua arkeolog digambarkan menggali dan menemukan patung Ken Dedes, batu gong, serta batu bata permukiman kuno.
Museum Malang Tempo Doeloe terletak di Jalan Gajah Mada, persis di belakang Balai Kota Malang. Pengunjung dari kalangan umum dikutip biaya masuk Rp 15 ribu dan pelajar Rp 10 ribu. Pengelola juga menyediakan paket belajar membatik dan menjual topeng Malang sebagai oleh-oleh.
Gunung Penanggungan, Jawa Timur
Ragam peninggalan sejarah bertebaran di sekujur lereng Gunung Penanggungan. Kebanyakan berasal dari peradaban Hindu-Buddha sekitar abad ke-10 sampai ke-16 Masehi. Kala itu, gunung ini disebut Pawitra. Salah satu peninggalan tertua, pemandian Jalatunda, diperkirakan berasal dari tahun 977 Masehi. Berdiri di kaki Penanggungan, petirtaan ini dipercaya mengalirkan air keabadian.
Orang sering datang untuk melakukan meditasi atau bertapa di gunung yang terletak di perbatasan Pasuruan dan Mojokerto, Jawa Timur, ini. Penanggungan dipercaya memiliki karisma gaib. Puncaknya yang bulat, gundul, dan berbukit-bukit oleh masyarakat Jawa Kuno dianggap mirip puncak Mahameru, gunung suci di India. Sekitar 80 peninggalan sejarah ditemukan sejak dari kaki hingga puncak gunung ini. Ada punden berundak, gua pertapaan, hingga candi-candi kecil dengan berbagai arca dan pahatan batu.
Gunung setinggi 1.653 meter di atas permukaan laut ini memiliki kemiringan 30-70 derajat. Pendakian menuju puncak biasanya melewati jalur Trawas di Desa Duyung atau lewat Jalatunda di Desa Seloliman. Jalur Jalatunda agak menanjak, tapi banyak candi dapat ditemui di sepanjang jalur ini, seperti Candi Lurah, Guru, Gentong, dan Carik.