Jual Perangko ke Turis: Sir, Buy Me Please
Reporter
Pito Agustin Rudiana (Kontributor)
Editor
Ludhy Cahyana
Selasa, 16 Juli 2019 10:13 WIB
Pada 2007-2012, kursus mati suri. Terlalu banyak warga yang rutin belajar hingga 400-an orang secara gratisan. Sementara Hani tak punya waktu untuk bekerja. Pada 2012, dia mulai membuka kursus berbayar. Sasarannya orang-orang di luar desanya. Khusus warga desa tetap digratiskan.
“Ya, kan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan,” kata Hani yang telah mempunyai delapan pengajar.
Nah, untuk menyemarakkan wisata di luar Candi Borobudur, Hani mengembangkan konsep belajar sambil berwisata. Sasarannya meliputi anak-anak dan mahasiswa yang tengah liburan hingga pegawai kantoran.
Kelas yang dibuka pun cukup singkat, meliputi paket 6 hari, 10 hari, dan 1 bulan secara intensif. Kelas dibuka pukul 08.00-16.00 dan dilanjutkan 17.00-21.00.
Metode belajar yang diterapkan pun sama, belajar sambil bermain dan berwisata. Tak heran ruang kelasnya berupa aula yang luas memanjang. Tak ada papan tulis, proyektor, atau pun alat mengajar lainnya. Tempat belajar pun merupakan tanah warisan seluas 2.700 meter persegi.
Hani pun berencana membeli lahan di belakangnya untuk wisata kelinci. “Jadi peserta ngasih makan kelinci sambil berbahasa Inggris,” kata Hani.
Tak heran, untuk menikmati eco-tourism ini, wisatawan merogoh kocek lebih dalam. Biaya ketiga paket kursus itu sama, yaitu Rp 3,5 juta. Juga mendapat fasilitas sama berupa makan tiga kali sehari dan jam belajar yang sama. Paket 6 hari dan 10 hari menginap di homestay berupa rumah warga.
Bagi yang menginginkan homestay dengan fasilitas AC dan air panas harus menambah ongkos Rp 2,5 juta. Khusus untuk paket satu bulan tidak menginap. Sedangkan paket enam hari dengan metode belajar setengah hari di kelas dan setengah hari berwisata sembari pengaplikasikan ilmunya.
“Dan selama belajar, handphone kami sita. Boleh pakai lagi pukul 16.00-17.00.” kata Hani. Pesertanya tak hanya seputaran Magelang. Melainkan antar pulau antar provinsi.
Semula, para orangtua khawatir meninggalkan anak-anaknya yang minimal kelas IV sekolah dasar. Tapi suasana yang nyaman malah membuat mereka enggan pulang.
Ada juga yang mengkhawatirkan jam pengajaran yang ketat hingga malam hari. Namun kekhawatiran itu tak terjadi, “Ini program akselerasi dari pagi sampai malam. Meski mereka capek, tapi enggak galau, enggak stress karena bersenang-senang,” kata Hani.
Lantas, apakah hanya dengan enam hari bisa membuat peserta lancer cas cis cus Inggris? Hani mengklaim kalau diadu dengan anak sekolahan, tidak kalah. Lantaran yang dibutuhkan untuk lancar berbahasa Inggris adalah rutinitas.