TEMPO.CO, Jakarta - Makanan dan minuman ternyata bisa menjadi penghancur sekat sosial di masyarakat. Paling tidak, begitulah yang muncul di Solo, Jawa Tengah.
Hilangnya sekat sosial itu, seperti dituturkan pengamat budaya Mufti Raharjo, tampak dari interaksi yang muncul di wedangan yang tersebar di berbagai sudut kota ini. "Pembeli yang bermobil mulus bisa duduk sejajar dengan pembeli yang bersepeda ontel," kata Mufti.
Artinya, kata Mufti lagi, "Kuliner bisa menghapus sekat-sekat kelas sosial."
Pemandangan ini jauh berbeda dibanding masa lalu. Menurut peneliti sejarah Kota Solo, Heri Priyatmoko, pada masa lalu, makanan adalah simbol status sosial, pembeda antara kalangan priayi dan wong cilik.
Heri mendapati informasi itu dalam selarik kisah keluarga priayi yang menjadi guru di praja Mangkunegaraan bernama Soekotjo. Menurut Heri, Soekotjo punya kebiasaan mengakrabkan lidah anaknya dengan makanan-makanan berkelas. Tak sekadar untuk mengisi perut, Soekotjo mengkonsumsi makanan itu untuk menunjukkan kelas sosialnya.
Saking mencandu makanan berkelas, Heri melanjutkan, Soekotjo bahkan sampai mendapatkan pengalaman unik. Anaknya yang bernama Suwito hampir lahir di restoran Malang di depan Pasar Gede.
Bukan hanya menghilangkan sekat sosial, makanan dan minuman di Solo juga menghilangkan kemewahan makanan luar negeri. Makanan mewah kini pun dijual pedagang kaki lima. "Masyarakat kelas bawah sudah bisa ikut menikmatinya," ujar Mufti.
Kisah makanan dan simbol sosial ini bisa Anda nikmati dalam edisi kuliner majalah Tempo yang terbit pada Senin, 1 Desember 2014.
Topik: #Kuliner
TIM EDSUS KULINER
Berita terkait:
Makanan Indonesia adalah...?
Chef Indonesia Tidak Menguasai Resep Tradisional
Sajian Kuliner Warisan Orang Rawa