Pasar Kangen Jogja, Sepekan Jogja 'Lawas'
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Rabu, 20 Agustus 2014 04:39 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Satu bundel uang kreweng ada dalam genggaman Melinda. Kepingan uang berbentuk bundar dari tanah liat itu menjadi bekal mahasiswi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta itu untuk membeli satu bungkus jajanan pasar berisi empat macam. Ada klepon, cenil, gatot, dan tiwul. Tapi jangan coba-coba bertransaksi dengan uang kreweng di tempat lain. Itu hanya berlaku di Pasar Kangen Jogja di area Taman Budaya Yogyakarta yang hanya berlangsung pada 18-24 Agustus 2014.
"Satu kreweng senilai dengan seribu rupiah. Tapi jumlahnya terbatas," kata Melinda yang mendapatkan uang kreweng dari panitia di pintu masuk Pasar Kangen, 18 Agustus 2014. Apabila harga barang atau makanan lebih dari lima keeping kreweng alias lebih dari Rp 5.000, pembeli tinggal menambah dengan mata uang rupiah.
Ini keenam kalinya Pasar Kangen Jogja digelar. Perhelatan saban satu tahun sekali itu memang dikonsep untuk menghadirkan aneka kuliner dan kerajinan lawasan Yogyakarta. Ketua Panitia Sri Eka Kusumaning Ayu mengatakan perayaan kali ini menghadirkan 44 stan kuliner, 43 kerajinan, dan 22 kelompok seni tradisi. Stan-stan kuliner dibuat sederhana. Hanya dari tiang-tiang bambu beratapkan daun tebu kering.
"Kami benar-benar selektif. Kalau kuliner model franchise, kami tolak," kata Sri saat ditemui Tempo usai Pembukaan Pasar Kangen Jogja di TBY, Senin 18 Agustus 2014.
Saat Tempo berkeililing di area Taman Bentara Yogyakarta, tak hanya gudeg yang meramaikan stand kuliner, ada juga sate koyor, sego wiwit, pecel ndeso, oseng-oseng bledheg, hingga sego jingo dari Bali. Juga aneka jajanan seperti gatot, lopis, ketan, klepon, cenil, walang goreng, tiwul, juga aneka minuman seperti wedang ronde, wedang uwuh, dawet, kopi, hingga minuman ekstrak kulit manggis. Harganya pun relatif murah.
"Aku suka konsepnya. Menghadirkan Jogja lawas. Beli tiwul jadi ingat saat diajak jajan sama simbah dulu," kata Melinda.
Keinginan untuk mencicipi kuliner yang dirasa belum pernah didengar namanya pun menggelitik Didik, pengunjung asal Sleman. Kertas bertuliskan 'es kebo' yang tertempel pada tenggok atau keranjang bambu menarik perhatiannya. Saat dia melongok, tampak es berwana cokelat tua dibungkus plastik bening berukuran kecil dan panjang. Mengingatkannya pada jajanan es yang dijual di sekolah dulu. Namun tulisan 'es kebo' masih membuatnya penasaran.
Penjualnya seorang lelaki paruh baya yang mengenakan pakaian peranakan dan blangkon. Kesannya makin menunjukkan itu jajanan 'ndeso' masa lalu. Lagian harganya hanya seribu rupiah per biji. Didik pun membeli. Namun saat dicicip lewat lubang di ujung plastik, "Woalaaaah, jebule (ternyata) es teh," teriak Didik sambil tergelak.
Untuk kerajinan dan barang-barang lawasan dihadirkan aneka keris, buku, koran, dan majalah lawas, radio kuno, gramophone dan piringan hitam, kerajinan topeng, juga wayang. Seolah memindahkan barang-barang klithikkan ke lokasi pasar yang hanya muncul setahun sekali itu. (Baca juga: 9 Kilometer Menjelajah Lereng Gunung Merapi)
PITO AGUSTIN RUDIANA
Berita Lainnya:
Jokowi Setuju 6 Jenis Manusia Versi Mochtar Lubis Dihilangkan
Bagaimana PRT Pembunuh Bayi di Riau Dibekuk?
Fahri Hamzah Cuit Klarifikasi Duit Nazaruddin
Pilot-Pramugara Baku Hantam, Penumpang Dievakuasi