TEMPO.CO, Jakarta - Kota ini memang mungil, tapi aura keseniannya sangat kuat. Ada sejumlah galeri seni, kafe, sebuah gedung museum mobil Porsche, serta museum instalasi seni dan sains bernama Das Pankratium. Kami menikmati suasana sebuah kota warisan abad pertengahan ini sambil minum kopi dan teh serta kue yang dibeli di toko sebelah hotel. Gerimis beberapa kali turun di tempat yang dinaungi Pegunungan Alpen ini, tapi tenda-tenda di kafe melindungi kami.
Selain Gasthof, setidaknya ada empat hotel di kawasan Gmund. Letaknya di dalam ataupun di luar pintu gerbang kuno, yaitu Familienhotel Platzer, Pension Alte Muehle, Familien Appartemen Sonnenheim, dan Residenz Royal.
Setelah melewati dua malam di Gmund, pada acara pertemuan di hotel sore menjelang pentas, kami mendengar kisah tentang dua pintu gerbang kuno tersebut. “Zaman dulu,” kata Elisabeth Lisa, Direktur DolomintenBank Ostirol-Westkarnte di Gmund, yang ikut mengelola kegiatan seni di kota ini, “Pintu gerbang depan dan belakang akan ditutup pada pukul 12 malam dan baru dibuka keesokan paginya.”
“Tapi sampai sekarang (meski dua pintu tersebut tidak pernah ditutup lagi), suasana aman ini terus berlangsung,” kata Elisabeth kepada kami dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Austria, Rachmat Budiman, yang datang dari Wina untuk menonton pementasan Tetas.
Sehari sebelum jadwal pentas, kami menyusuri kota mungil yang damai ini. Orang-orang tak terlalu riuh ketika memasuki lorong-lorong kota yang memuat sejumlah galeri dan kafe. Di balik lorong-lorong ini terdapat sebuah taman kota, gereja dari abad pertengahan, klub sinematek, dan monumen dengan patung salib dari tembaga. Di sepanjang salib ini berjajar nama-nama orang yang meninggal di sana sebagai para pendiri kota.
Setelah melewati pintu gerbang belakang, terdapat jalan berundak yang menanjak. Jalan ini menuju kafe dan teater mini di dalam kawasan sebuah kastil kuno bernama Alter-Burg. Empat tahun lalu, kami menggelar pentas teater di tempat ini dengan naskah yang lain. Pada pentas yang kedua tahun ini, kami memakai sebuah galeri seni di salah satu sudut kota, yakni Lodronsche Reitschule.
Dari Alter-Burg, kami bisa melihat seluruh kawasan Kota Gmund. Sebuah kota kecil dengan satu jalan protokol diapit hotel, toko, bank, dan gedung lain di kiri dan kanan jalan utama. Di bagian luar sebelah kanan dari kota yang dibentengi dengan dua pintu gerbang ini tampak berdiri sebuah pemakaman yang ditata secara indah dengan deretan bunga berwarna-warni dan lilin-lilin kecil.
Kami juga tidak melupakan Das Pankratium, museum instalasi paduan seni dan sains yang menakjubkan itu. Letaknya ada di sebuah lorong di belakang hotel tempat kami menginap. Das Pankratium adalah museum yang merangsang partisipasi aktif para pengunjung dari anak-anak sampai orang tua. Setiap instalasi mengundang para pengunjungnya untuk berkomunikasi.
Pada sejumlah cawan yang menampung air di sebuah tempat dalam museum ini, misalnya, terdapat dua tangkai dari aluminium. Bila sepasang tangan kita menggerakkan tangkai tersebut akan terdengar suara yang indah. Di sudut lain, kami dirangsang memunculkan rasa musikalitas yang sudah ada dengan memainkan berbagai peralatan musik tanpa harus menguasai teori bermusik seperti not balok.
Inilah oase. Tempat yang memberikan kelegaan buat kami setelah menjalani tur pentas yang padat. Apalagi, kami menjalani tambahan petualangan tak terduga di Turki. Percobaan kudeta di Turki membuat pendaratan kami dengan menggunakan maskapai pesawat terbang Turkish Airline dari Jakarta menuju Istanbul dipindahkan ke Antalya ketika pesawat sudah berada di atas langit Istanbul. (bersambung) *
HARY PRASETYO