Bekunjung ke Mashad, sebagai kota kebudayaan, rasanya tak afdol jika tak mampir ke Nisyapur atau Naishaboor. Kota yang bisa ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Mashad itu masih dalam provinsi yang sama, Khurasan. Kota itu merupakan tempat lahir dan makam penyair Omar Khayyam dan Fariduddin Attar. Kami berempat menyimpang dari jadwal rombongan dengan menyewa taksi US$ 60 (sekitar Rp 780 ribu).
Pagi-pagi, sekitar pukul 06.00, sopir taksi sudah menjemput kami di hotel tempat kami menginap. Hari itu ada beberapa tempat yang kami kunjungi. Selain ke makam Omar Khayyam dan Attar, kami mengunjungi petilasan Imam Sajjad dan situs desa yang terkubur karena longsor.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di kompleks makam Omar Khayyam. Penyair kelahiran Nisyapur pada 18 Mei 1048 itu sebenarnya ahli matematika dan astronomi. Khayyam terkenal mengoreksi hingga enam desimal di belakang koma, mengukur panjang satu tahun sebagai 365,24219858156 hari, dengan sangat akurat. Dia juga pernah membuat peta bintang di angkasa. Namun, di akhir hayat, ia lebih dikenal sebagai penyair, dengan karyanya The Rubaiyat of Omar Khayyam.
Berbeda dengan makam para imam, di makam Omar Khayyam yang berbentuk seperti taman itu pengunjung harus membayar biaya masuk sekitar Rp 125 ribu. Setelah masuk area, pengunjung akan bertemu dengan patung Khayyam. Lalu di cungkup setinggi 5 meter di bawahnya terletak makam Khayyam. Hawa musim dingin yang anjlok hingga minus 12 derajat Celsius membuat pengunjung makam itu tak terlalu banyak. Sejumlah seniman tampak datang merenung dan mengambil gambar.
Nisyapur juga terkenal dengan batu pirus. Tak jauh dari kompleks makam terdapat toko penjual batu yang berwarna biru laut itu. Teman saya penggemar batu pirus membeli batu seukuran kacang kedelai seharga US$ 20 (sekitar Rp 260 ribu) per buahnya. “Di sini betul-betul asli pirus, beli di tempatnya,” ujar Sonny, kawan itu. Dia membeli hampir 10 batu pirus dengan berbagai model. Paling mahal US$ 50 (sekitar Rp 650 ribu).
Dari makam Omar Khayyam, kami ke makam Fariduddin Attar. Bekas pedagang parfum dan penjual obat itu terkenal dengan prosanya di Indonesia, antara lain Musyawarah Burung. Penyair kelahiran Nisyapur pada 1145 Masehi itu wafat pada 1220. Masuk ke makam itu pengunjung juga harus membayar. Di taman kompleks makam itu terdapat patung Attar dan altar makam yang dilindungi cungkup tinggi.
Hanya sepelemparan batu, kami berkunjung ke desa yang pernah tertimpa longsor. Bukan dilupakan, malah situs itu dijadikan museum alami. Tulang-belulang korban dilindungi kaca transparan. “Lima keluarga saya tewas tertimbun di sini,” kata Fariz, sopir taksi yang membawa kami, dengan wajah sedih.
Fariz juga membawa kami ke petilasan Imam Sajjad, julukan Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Hussein yang selamat dari peristiwa Karbala. Di sini tampak bekas telapak kami Imam Sajjad yang replikanya dijual kepada pengunjung. Juga mata air yang diyakini bisa membawa berkah. Beberapa pengunjung mengambil air dengan jeriken yang dibeli di pintu masuk kompleks itu. Kendati di depan pintu masuk mata air itu ditulis “Air ini tidak dapat diminum, tidak sesuai dengan standar kesehatan”, banyak orang yang tidak peduli.
Lihat video: Nostalgia Secangkir Kopi
Ahmad Taufik (Iran)