Saya bahkan tak bisa melihat permukaan sungai karena tertutup semak dan dahan pohon. Hanya terdengar gericik airnya yang mengalir menuju sang legendaris: Grojogan Sewu. Tidak satu atau dua kali saya mengingatkan anggota rombongan yang masih anak-anak untuk menjauhi tebing.
Rute ini memang unik. Di kanan tersaji pemandangan menawan yang diciptakan oleh hamparan perkebunan. Di kejauhan ada pebukitan yang membatasi pandangan. Di sisi kiri adalah tebing curam menuju kali yang saya cari, namun menyimpan bahaya jika tak hati-hati bertindak.
Namun ini juga rute yang disukai rombongan karena medannya datar. Juga bebas ranjau kotoran kuda. Anda akan leluasa menghirup udara bersih tanpa diinterupsi bau tak sedap seperti di lintasan sebelumnya. Tentu saja ini juga lokasi yang cocok untuk berfoto ria.
Di ujung area perkebunan rute yang lebih liar telah menunggu. Jalan yang diperkeras sudah habis. Dan trek tak lagi datar. Kini berganti menjadi turunan-turunan curam, dengan jalan setapak dari tanah. Hutan pinus pun menggantikan suasana sekitar. “Bagian ini sudah lama tidak dilintasi orang, sehingga jalurnya sudah tertutup semak-semak,” kata warga setempat yang memandu kami.
Mempertimbangkan banyak anak-anak (salah satunya masih sekolah di TK) yang ikut trekking, dia memberi pilihan apakah akan meneruskan perjalanan atau cukup sampai di sini. Suara rombongan rupanya terpecah. Maka diambil jalan tengah. Pak pemandu dan salah seorang dari kami, Sunu W, akan menjajagi medan. Mereka akan menuruni lereng ini beberapa lama, dan nanti kembali untuk menyampaikan hasilnya.
Saya membatin, medan ini memang lebih mirip jalur pendakian Gunung Lawu dari gerbang Cemoro Kandang. Lintasannya masih alami, dan jika kecuramannya yang lebih dari 45 derajat itu ajeg sampai ke Grojogan Sewu, memang dibutuhkah tenaga ekstra.
Setelah kami menunggu sekitar 40 menit, akhirnya “Tim Perintis” itu muncul kembali. Kesimpulan mereka tak jauh dari perkiraan saya. Medan agak berat dilalui anak-anak, meskipun kalau dengan persiapan lebih baik hal itu tidak mustahil. Untuk mencapai finish pun masih agak jauh. “Setelah berjalan beberapa lama, saya belum juga mendengar gemuruh Grojogan Sewu,” kata Sunu W.
Tampaknya, ini memang akhir dari penjelajahan—untuk hari itu. Saya selalu mengingat hikmah yang kupetik dari pergaulan dengan alam terbuka selama ini: jangan pernah meremehkan alam, seenteng apapun kelihatannya ia dijelajahi. Cara terbaik menyusuri rahasianya, adalah dengan persiapan terbaik. Sesederhana itu.
Tadi kami memang hanya melakukan persiapan seadanya, tak menduga akan berhadapan dengan medan yang jarang dijamah orang ini. Rute yang tersisa ini kami anggap saja sebagai undangan yang akan dipenuhi kapan-kapan. Alias, suatu saat nanti “hutang” perjalanan itu bisa dilunasi dengan persiapan yang lebih memadai.
Toh, hari itu kami sudah cukup puas mereguk keindahan panorama yang dihamparkan Dusun Pancot nan permai ini. Itu adalah bonus akhir tahun yang sangat berharga.
Salam lestari!
Tulus Wijanarko (Karanganyar)