TEMPO.CO, Solo - Salah satu kuliner yang legendaris dari Kota Solo adalah sate kere. Jika beruntung, Anda bisa menemukan pedagang keliling yang menjualnya. Beberapa tempat makan juga menyediakannya sebagai menu andalan.
Pada masa lampau, makanan ini biasa disantap oleh masyarakat bawah. Sesuai namanya, kere yang dalam bahasa Jawa berarti miskin. Makanan itu adalah tiruan bagi mereka yang tidak mampu membeli sate kambing.
Namun, kini makanan jelata ini justru banyak dicari. Penikmatnya juga dari beragam kalangan. Makanan untuk masyarakat jelata ini menjadi naik kasta.
Salah satu yang menyediakan sate kere sebagai menu andalan adalah Wedangan Lawang Djoendjing. Seperti layaknya wedangan lain, tempat makan ini menyajikan berbagai makanan tradisional, seperti jadah bakar, kolang-kaling, nasi bandeng, hingga pisang owol.
Baca juga:
Nasi Petis, Nasi Campur Bangkalan
Ke Gresik, Jangan Lupa Menyantap Nasi Krawu
Penampakan sate kere ini mirip dengan masakan sate lain, lengkap dengan tusuknya. Namun, tusukan tersebut berisi tempe gembus, tempe yang berasal dari ampas tahu. Hal ini yang membuat sate kere pada masa lampau memiliki harga yang sangat murah.
Sate ini juga dimasak dengan cara dibakar dengan arang. Bumbunya menggunakan bumbu kacang, mirip dengan sate ayam. Dengan tambahan irisan lontong, makanan khas Kota Solo ini cukup nikmat dan mengenyangkan.
Lagi pula, isi tusukan di sate kere saat ini bukan hanya tempe gembus. Ada pula irisan daging sapi serta kikil yang membuat masakan ini semakin lezat.
Jika Anda mengajak anak-anak, sebaiknya langsung pesan sate kere yang tidak pedas. Sebab, juru masak biasanya langsung menambahkan sambal. "Pedas dalam kadar sedang," kata pemilik Wedangan Lawang Djoendjing, Hardi.
Satu porsi lengkap sate kere bisa dinikmati dengan Rp 25 ribu. Selain sate kere, Anda bisa menikmati berbagai minuman hangat tradisional lain, seperti wedang uwuh, teh serai, serta jahe hangat. Lokasi yang cukup luas memungkinkan pelanggan datang dengan berombongan.
Hanya saja, menemukan lokasi wedangan ini memang agak sulit lantaran masuk ke perkampungan. Wedangan ini terletak di Dukuhan Nayu, Kadipiro, Banjarsari, Solo.
Lokasinya berada di sekitar dua kilometer ke arah utara dari Terminal Tirtonadi. Namun, lokasinya akan mudah dicari dengan perangkat peta di ponsel pintar dengan memasukkan kata kunci Lawang Djoendjing.
Selain menikmati makanan, pengunjung bisa menikmati desain bangunan yang penuh nuansa etnik. Menariknya, bangunan itu dibuat dari bahan daur ulang, seperti besi, pelat galvanum, hingga bekas papan iklan. Maklum, pemiliknya juga memiliki usaha di bidang periklanan (advertising).
AHMAD RAFIQ