TEMPO.CO, Jakarta -Tanjung Bunga menjadi salah satu titik persinggahan kami dalam perjalanan darat sepanjang 400 kilometer menyusuri pantai di sepanjang timur Pulau Flores hingga menyeberang ke Pulau Adonara. Kami memulai perjalanan darat dari Kota Ende, melewati perbukitan di sekitar Danau Kelimutu, turun ke sisi selatan pulau untuk menemukan Pantai Koka yang indahnya bukan main. Dari sisi selatan, kami naik lagi menuju Kota Maumere, yang berada di sisi utara pulau.
Perjalanan dari Ende ke Maumere membutuhkan waktu sekitar empat jam, belum termasuk waktu yang dihabiskan akibat sistem buka tutup karena perbaikan jalan. Jalanan relatif mulus, menyisir tebing dengan bentuk berkelok-kelok. Dari Kota Maumere, selama empat jam kami menyusuri sisi utara Pulau Flores, berbelok ke tengah hingga tiba di Kota Larantuka. Larantuka menjadi poros tujuan kami setelah menyinggahi Pantai Koka dan sebelum mengunjungi Adonara dan Tanjung Bunga.
Soal keindahan pantai, Tanjung Bunga jangan ditanya. Daratan ini memiliki deretan pantai perawan yang menawan. Pantai Kaba, Pantai Kateki, hingga Pantai Nipa adalah surga yang menunggu di ujung utara Flores. Keindahan ini menjadi magnet bagi wisatawan dan nelayan dari penjuru Nusantara. Nelayan Bugis, Buton, hingga Madura acap melemparkan sauh di tengah laut lalu menepi dengan perahu kecil. Bahkan tak sedikit yang menetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Tapi itu cerita lama. “Setelah tsunami, tak ada lagi yang datang kemari,” kata Alfonsus Jamaluruon, tokoh masyarakat Riangkeroko, perkampungan di Tanjung Bunga.
Pada Sabtu, 12 Desember 1992, petaka diawali dengan gempa berkekuatan 7,5 skala Richter yang memicu longsor bawah laut. Yoshinobu Tsuji dan timnya dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami mengatakan tinggi gelombang mencapai 26,2 meter. Gulungan ombak mengempaskan rumah, pohon kelapa, hingga ratusan tubuh manusia. Sebanyak 137 orang tewas akibat tsunami ini. Ombak besar ini menghantam Teluk Hading, salah satu pesisir terindah di utara Flores. “Sekarang teluk ini tertutupi bakau,” kata Alfonsus.
Kecamatan Tanjung Bunga adalah tempat lahirnya nama Flores. Pada 1512, di ujung tanjung ini, seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu konon menjadi orang Eropa yang tiba pertama di pulau ini. Antonio melihat bunga flamboyan merah bermekaran di seantero pulau. Seorang Portugis lain, S.M. Cabot, kemudian menyebut daratan ini dengan nama Cabo das Flores, yang berarti Tanjung Bunga. Pada 1636, Gubernur Hindia Belanda Hendrik Brouwer mensahkan nama Flores untuk pulau ini.
Di masa lalu perdagangan memang melewati pantai-pantai di Flores Timur. Itu dapat dilihat dari tradisi pernikahan suku Lamaholot di Flores Timur hingga Adonara. Perkawinan dianggap sebagai na buah ma an mone, yaitu simbol menyerahkan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Belis atau mas kawin yang harus dibayar seorang laki-laki ketika menyunting perempuan sama sekali tak memiliki hubungan dengan wilayah Flores Timur atau Adonara.
Agus Geroda, warga Bedaluwun di Pulau Adonara, menuturkan mas kawin yang harus dibayar saat menikahi perempuan Lamaholot adalah gading gajah. Gading melambangkan nilai adat, status sosial, harga diri, dan perekat kekerabatan. “Tak ada perkawinan tanpa gading gajah,” kata Agus. Dia tak bisa menjelaskan asal-muasal gading tersebut karena Adonara dan Flores bukanlah habitat gajah. Kemungkinan besar gading datang lewat para pedagang masa lalu yang mampir. Semakin tua usia gading gajah, harganya akan semakin mahal. Tak mengherankan bila sepotong gading untuk belis bisa berharga ratusan juta rupiah.
WAYAN AGUS PURNOMO