TEMPO.CO, Alor - Ada banyak sekali pantai eksotis di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Ada sekitar 20 pulau di kabupaten itu. Tiap pulau memiliki pantai yang masih tak berpenghuni, tapi memiliki keindahan tak tertandingi.
Pantai Tuabang adalah salah satunya. Pantai ini berada di Pulau Pantar, pulau terbesar kedua setelah pulau induk, Pulau Alor. Letaknya berdekatan dengan Pulau Ternate dan Pulau Kepa, pulau yang paling tersohor di Alor. “Tak ada penduduk yang tinggal di sini dan pantainya jarang dikunjungi,” kata Herliz Tuppong, pemilik perahu yang mengantar Tempo ke sana dengan perahu miliknya, Ahad empat pekan lalu.
Pantai itu bertabur pasir putih dan bercampur kerikil sebesar kuku berwarna putih. Di atas pasir itu, ditumbuhi pepohonan rindang yang nyaman untuk berteduh. Pantai Tuabang memiliki taman laut hampir satu hektare. Terumbu karang alami berwarna-warni tumbuh subur di bawah air yang jernih dan berarus pelan. Di sana juga terdapat terumbu pemalu. Mereka mengatupkan sulurnya jika disentuh.
Ikan berwarna-warni turut memenuhi pantai itu. Ada bintang laut berwarna biru, ada pula kuda laut. Dari sekian banyak pantai di Alor yang Tempo datangi, jumlah ikan di Pantai Tuabang adalah yang terbanyak. Sambil snorkeling, ikan-ikan itu tak malu bila didekati. Mereka bahkan ikut berenang mengitari penyelam. “Kami melarang keras penggunaan bom untuk mencari ikan,” kata Herliz untuk menjawab pertanyaan Tempo soal keasrian taman laut di Alor.
Mereka hanya boleh menangkap ikan dengan cara tradisional, salah satunya dengan memanah ikan. Ketika sore tiba, pantai itu didatangi sekitar sepuluh bocah, yang diperkirakan masih berusia di bawah sepuluh tahun. Mereka masing-masing membawa kacamata renang dari potongan kaca yang direkatkan ke kayu berbentuk bundar. Mereka pun menenteng panah ikan tradisional sepanjang satu meter. Bentuknya dibuat seperti senapan kayu, di atasnya dipasang panah besi yang dilontarkan dengan rentangan potongan ban dalam bekas.
Jo, nama salah seorang bocah yang paling tinggi tubuhnya, memimpin gerombolan itu. Setelah mereka saling mengobrol sambil tertawa dengan bahasa Alor, ia mencemplungkan diri ke air diikuti teman-temannya. Mereka memanah ikan dengan cekatan. Tanpa bantuan fin dan goggle seperti yang Tempo kenakan untuk snorkeling, mereka bergerak lebih lincah di dalam air. “Itu, itu di sana,” ujar Jo berteriak ke pada temannya yang lain untuk menunjukkan di mana gerombolan ikan terbanyak berada.
Hanya dalam waktu sepuluh menit, Jo sudah mengikat enam ikan bawal berukuran telapak tangan di tali pinggangnya. Tempo meminjam panah milik Jo. Ternyata memanah ikan itu tak gampang. Selain butuh akurasi, pemanah harus memperhitungkan arah arus laut dan pergerakan ikan. “Ayo Paman, dicoba lagi,” kata Jo kepada Tempo yang terlihat berusaha keras memanah ikan-ikan yang berseliweran ke sana-sini. Sungguh pengalaman menyenangkan yang tak akan pernah didapat di wisata lainnya.
Mustafa Silalahi
Baca selengkapnya di Majalah Tempo pekan depan, edisi khusus “Cerita dari Pantai Tersembunyi”.