TEMPO.CO, Jakarta- Ada pemandangan tak biasa di Museum Fatahillah yang baru dibuka 4 Februari lalu setelah ditutup untuk renovasi berbulan-bulan. Semua pengunjung tanpa terkecuali, mengenakan sandal berwarna jingga bertuliskan Jakarta City Fair 2015.
"Lantai museum berasal dari abad 17. Kalau pakai sepatu, maka lantai akan terkikis. Museum ini jangan sampai rusak karena akan dinikmati anak-cucu juga," kata Usman, leader Museum Fatahillah, 30 tahun, Ahad 8 Februari 2015.
Sandal ini berbahan lunak, seperti sponges padat dan keras, dan rata-rata memiliki ukuran 40. Untuk mendapatkan sandal yang dibungkus di dalam tas flanel biru ini, pengunjung harus antri di luar pintu masuk museum selama maksimal lima menit. Begitu masuk, sandal tak langsung didapatkan, pengunjung harus membeli tiket Rp 5.000 untuk dewasa, Rp 3.000 mahasiswa, Rp 2.000 untuk pelajar.
Sandal-sandal jingga akan menemani petualangan yang dimulai dari sisi kiri pintu masuk. Berawal dari secuplik potret Sultan Agung Hanyokrokusumo Raja Mataram ketiga yang sedang memimpin upacara seban. Dilanjutkan dengan penyerangan Mataram ke Batavia untuk bertempur melawan VOC pada 1628-1629 berakhir dengan pertemuan Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal VOC dengan Kyai Rangga, Bupati Tegal, yang merupakam utusan Mataram untuk menyelidiki benteng-benteng kompeni 1628. Cerita ini disusun dalam sebuah lukisan yang dingin dan pucat.
"Mama itu perang ya? Perang siapa sama siapa," ujar seorang anak laki-laki berkepala plontos, berkaos biru dengan celana jeans panjang kepada ibunya yang berjilbab merah. Kebingungan, sang ibu bergegas menuju mimbar di sisi kanan gambar, membaca lalu memberi jawaban. "Itu perang sama Belanda, penjajah," kata sang ibu singkat. "Belanda itu jahat?" tanya sang anak lagi yang diiyakan oleh ibu yang bernama Herawati Muria, 32 tahun, warga Cakung. Tak banyak yang bisa diceritakan oleh ibu karena keterangan yang disediakan tak banyak.
Beranjak ke ruang selanjutnya, tak banyak ornamen sejarah yang dipajang. Hanya ada spanduk dan foto berbingkai yang ditampilkan bak pertunjukan foto dalam sebuah pameran atau lomba foto. Pun bukan foto dari zaman abad ke 18 tetapi foto proses renovasi museum yang dipajang berurutan. Hanya satu dua pengunjung yang melihat-lihat sampai foto ke tiga lalu segera bergegas menuju ruang selanjutnya yang lebih semarak.
Berbagai macam potret dan lukisan gedung di masa lampau tersaji seperti lukisan gereja Portugis di luar tembok kota dan monumen Michiels di Koningsplein. Di situ dipamerkan pula maket gereja protestan kedua atau gereja baru tahun 1736-1808 yang berada di sisi barat Taman Fatahillah yang saat ini menjadi Museum Wayang.
Di dalam museum ini dipajang pula mimbar dari Masjid Kampong Baru atau Masjid Bandengan. Bersebelahan dengan Meriam Cirebon yang terbuat dari perunggu. Meriam jenis coak ini memiliki panjang 234 sentimeter, lebar 76 sentimeter dan tinggi 79 sentimeter. Beranjak ke ruang prasasti, pengunjung dapat menyaksikan prasasti Sidanghiang yang ditemukan tahun 1947 di Munjul, Banten. Juga berbagai macam prasasti lain seperti Prasasti Kebon Kopi, Tugu dan Ciaruteun.
Usman menuturkan ada 15 ruangan di lantai bawah dan di lantai atas ada 13 ruangan. "Mulai dari ruang Sultan Agung, ruang konservasi, ruang JP Coen, ruang Jayakarta, ruang museum, ada ruang sidang di atas dan ruang prasasti. Semuanya mencakup masa kerajaan sampai Portugis datang lalu berganti Belanda menguasai Indonesia," kata Usman. Namun, terlepas dari sejarah, ada satu ruang yang diberi nama Erasmus. Ruang yang diselenggarakan bekerjasama dengan Kedutaan Besar Belanda ini menyuguhkan pemandangan Kota Tua pada 2015-2020 mendatang setelah penataan.
Sementara itu, sandal-sandal jingga akan berakhir di tas biru ketika ruang prasasti usai dijelajahi. Di sini, disediakan bangku panjang agar pengunjung bisa duduk, merunduk nyaman untuk mengganti kasut. Setelah itu, pengunjung wajib mengembalikan sandal jingga yang sudah bermenit-menit menemani, kepada penjaga keamanan berseragam serba hitam.
Risa Widyaiswara, 42 tahun, warga asli Kebumen mengaku kurang puas dengan kunjungan ke Museum Fatahilah. Ia berharap ada hal yang menarik dari sekadar benda yang dipajang. "Lebih bagus kalau ada animasi atau gambar bergeraknya. Nggak cuma baca, tapi cukup nonton jadi tau oh ini begini ceritanya," kata dia dengan logat khas Jawa Tengah yang kental.
DINI PRAMITA