Sebagai pemanasan untuk merenggangkan otot-otot kaki, saya memilih ke Air Terjun Ketemu Jodoh, mengingat jalannya yang relatif lebih datar. Lokasi ini masih sepi, baru dikunjungi tak lebih dari 10 pengunjung, dan hanya 2-3 orang yang mandi. Saat saya menurunkan kaki ke air, bbrrrr. Airnya sangat dingin, seperti diambil dari kulkas.
Seorang kakek mendekati saya, lalu memandu menuju pancuran yang sumber airnya dari dinding yang sama, tempat air terjun berada. Ada dua pancuran. Konon, jika sepasang kekasih membasuh wajah dengan air ini, insya Allah akan cepat berjodoh.
Tergoda oleh air jernih yang jatuh dari dinding batu, saya melawan dingin dan menceburkan diri. Walhasil, saya nyaris tak kuat menggerakkan kaki dan tangan lantaran membeku. Tak sampai 5 menit berenang, saya memilih duduk berjemur di atas batu.
Setelah baju cukup kering, saya dan beberapa kawan melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Takapala. Untuk sampai ke Air Terjun Takapala, pengunjung harus melalui 1.000 anak tangga. Seorang kawan mencoba menghitung. Dari jalan poros menuju Takapala, ternyata hanya 399 anak tangga.
Tempat ini jauh lebih ramai daripada Air Terjun Ketemu Jodoh. Mungkin karena hari sudah lebih siang. Fasilitas lokasi ini jauh lebih lengkap. Juga terdapat berbagai macam jajanan dengan harga relatif terjangkau. Yang paling menggoda adalah berbagai macam gorengan, ada pisang, singkong, sukun, dan bakwan.
Karena pakaian sudah kering, dan tempat ini juga sangat ramai, kami tak lagi menceburkan diri ke air. Kami memilih bersantai duduk-duduk di sebongkah batu besar, seukuran sebuah mobil. Sinar matahari yang sangat terik tak terasa. Seperti terhalang kesegaran udara dan semburan air terjun yang terbawa angin.
Begitu menyegarkan. Meski ramai, tempat ini tetap asyik untuk melakukan yoga. Saya pun memejamkan mata, lalu berkonsentrasi mendengarkan gemericik air.
Sebelum meninggalkan Malino, kami sempatkan diri singgah berfoto di depan prasasti “Malino 1927”. Kota Malino ini sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Terutama saat Gubernur Jenderal Caron memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” pada 1927.
Sejak itu, Malino menjadi tempat favorit tetirah para pegawai pemerintah. Malino dulu dikenal dengan nama kampung “Lapparak”, yang dalam bahasa Makassar berarti datar. Malino memang berupa wilayah datar yang diapit oleh lembah dan bukit-bukit hijau yang menjulang. Seharian rasanya tak cukup untuk menikmati kawasan di sini.
IRMAWATI
Topik Terhangat:
Prabowo Subianto|FPI Geruduk Lurah Susan| Misteri Bunda Putri| Dinasti Banten| Suap Akil Mochtar
Berita Terpopuler:
Taktik Pius Mendekati Prabowo Subianto
Aksi Mengusik Lurah Susan, FPI Beri Contoh Buruk
Mendagri Tak Tahu FPI Mulai Mengusik Lurah Susan
Rekam Jejak Prabowo 24 Tahun Jadi Tentara
Ada Landasan Helikopter di Rumah Mewah Prabowo
Ini Cerita Prabowo Kenapa Trauma pada Pers