TEMPO.CO, Tangerang - Pemerintah Kabupaten Tangerang berjanji akan mempertahankan sekaligus melestarikan keberadaan ratusan rumah kayu peninggalan abad 17 milik ratusan warga keturunan Tionghoa yang berada di lima desa di Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang.
Kawasan tua yang punya nilai sejarah karena merupakan cikal bakal keturunan Tionghoa di Tangerang itu kini terancam punah karena terhimpit bangunan beton perumahan mewah dan sejumlah pabrik."Kami pastikan tidak ada pengusuran terhadap rumah kayu milik warga keturunan Tionghoa di Panongan," ujar Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata, Soma Atmaja, Senin, 4 Maret 2013.
Menurut Soma, kawasan Pecinan di kecamatan Panongan, yang kini bernama kawasan Rumah Kayu Goen, memiliki nilai sejarah tinggi. Salah satunya, rumah kebaya yang merupakan rumah adat asli Tangerang. "Rumah Kebaya ini merupakan rumah adat Tangerang," kata Soma.
Selain melestarikan ratusan rumah kayu tersebut, kata Soma, pihaknya juga berencana membangun duplikat rumah kayu kebaya corak khas rumah adat budaya Cina-Betawi peninggalan warga keturunan abad ke-17 ini. Duplikat rumah kebaya dibangun di sekitar danau di pusat pemerintahan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Anggaran yang dikucurkan Rp 500 juta. Rumah kebaya itu akan dijadikan ikon dan simbol masa lalu Kabupaten Tangerang.
"Kayu khusus untuk rumah kebaya itu terbuat dari kayu nangka. Ada ruang publik yang bisa dimanfaatkan untuk membangun rumah kebaya itu," kata Soma.
Ratusan rumah kayu asli keturunan Tionghoa yang menjadi bukti kebudayaan Cina asli peninggalan zaman Belanda, yang di lima desa Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang, terancam punah karena tergusur oleh pengembang perumahan. Besarnya dominasi penguasaan lahan oleh industri dan pengembang perumahan mengakibatkan kawasan rumah kayu setiap tahun kian menyempit.
Kian menyusutnya lahan dan rumah kayu milik warga Cina di Kecamatan Panongan ini mengancam kelestarian budaya dan orang asli Cina yang telah menetap di sana sejak ratusan tahun lalu dari delapan generasi. Dari sebanyak 150 ribu penduduk yang tersebar di 5 desa (Ciakar, Peusar, Panongan, Ranca Kelapa dan Ranca Hulu) di Kecamatan Panongan, sebanyak 40 persennya adalah warga dari etnis Cina. Mereka selama ini bertahan hidup dari hasil berkebun dan bertani, dengan tingkat ekonomi yang masih sangat tradisional.
Umumnya, warga Cina yang menetap di kawasan itu masih menggunakan cara tradisonal dalam kehidupan sehari-hari, seperti bertani di sawah tadah hujan, yang hanya panen satu tahun sekali. Proses bertani masih dilakukan dengan cara manual. Mulai dari proses pemupukan dengan pupuk organik, hingga tekhnik memanen padi yang masih menggunakan cara pukul banting. Mereka juga bertahan hidup dengan hasil ternak mereka.
Khawatir pusat cagar budaya tersebut rusak dan hilang, Gunawan Wijaya, 65 tahun, salah seorang warga keturunan Tionghoa tertarik untuk membangun kawasan itu dan berencana menjadikannya sebagai pusat pengembangan budaya Cina. Saat ini, ia telah membangun kawasan rumah kayu di Jalan Rumah Kayu Goen, persisnya di tengah Kampung Cipari, Desa Ciakar, sejak tahun 2005.
Akan tetapi, Gunawan khawatir, karena sepanjang lima tahun terakhir sudah hektaran lahan warga Cina sekitar yang terjual kepada industri dan pengembang perumahan. Sehingga lambat laun ini akan mengancam keberadaan rumah-rumah asli Cina dan budaya asli Cina Indonesia akan habis tergusur oleh perumahan.
Tempo yang sempat berkunjung ke kawasan itu melihat sejumlah rumah asli Cina memang masih berdiri kokoh di sejumlah desa yang hanya berjarak 50 meter dari perumahan Citra Raya. Rumah asli Cina yang ada di sekitar kebanyakan terbuat dari kayu, ada yang bentuknya sangat sederhana, ada juga yang kondisinya sudah baik. Pada umumnya, rumah asli Cina yang sederhana berlantai tanah dan dengan kayu yang sudah usang.
JONIANSYAH
Berita Lainnya:
7 Jurus Andalan Jokowi Atasi Banjir Jakarta
Ganjil-Genap, Jokowi: Jangan Jeglak-Jeglek
6 Perhitungan Jokowi Soal Ganjil-Genap
Wong Jokowi Hingga Jeglak-Jeglek