TEMPO.CO, Pelambang - Rumah Limas merupakan rumah tradisional orang Palembang sejak berabad-abad silam. Dulunya rumah Limas dibangun oleh kaum ningrat seperti Pangeran. Bukti keberadaan Rumah Limas asli tersebut ada di komplek Museum Negeri Sumatera Selatan yang dibangun tahun 1830 dan 1833.
Rumah Limas dibangun dengan perencanaan matang dan penuh dengan pesan moral dan filosofi yang dapat diambil hikmahnya. Salah satunya, di bagian atap rumah Limas terdapat ornamen menyerupai tanduk kambing dengan jumlah beragam. "Kalau berjumlah dua, itu melambangkan Adam dan Hawa," Beny Pramana Putra, Edukator Museum Negeri Sumsel, Jumat, 19 April 2024.
Beny mengatakan pihaknya selalu menjelaskan kepada pengunjung bila terdapat tiga tanduk kambing hal itu menandakan Matahari, Bulan dan Bintang. Sedangkan Empat tanduk melambangkan para sahabat Rasulullah. "Bila di atas rumah terdapat lima dan enam tanduk kambing hal itu melambangkan rukun Islam dan Rukun Iman," ujarnya.
Selain terdapat tanduk kambing, Beny menambahkan Rumah Limas masih memiliki sejumlah keunikan dan ciri khas tertentu. Rumah Limas dibangun dengan menggunakan tiang sebagai penyangga. Dengan berbentuk panggung tanpa paku dan material besi lainnya, rumah Limas punya banyak filosofi yang wajib diketahui generasi saat ini.
Filosofi Rumah Limas
Chandra Amprayadi, Kepala UPTD Museum Negeri Sumatera Selatan menjelaskan pihaknya sudah menerbitkan buku hasil pengkajian berjudul “Rumah Limas Koleksi Museum Negeri Sumatera Selatan”. Rumah Limas merupakan salah satu koleksi masterpiece yang dimiliki Museum Negeri Sumatera Selatan sejak tahun 1985.
Dalam buku yang sama disebutkan bahwa pembangunan rumah limas harus dari Ilir ke Ulu. Hal itu artinya dalam proses membangun sebuah rumah adat, tidak asal-asalan melainkan memperhatikan setiap detailnya dan dari setiap detail tersebut, memiliki beragam filosofi tersendiri.
Rumah Limas dibangun dengan bentuk panggung bertiang kayu tanpa paku.Hal ini bertujuan untuk menghindari air dan binatang buas masuk ke dalam rumah. Foto diambil di komplek Museum Negeri Sumsel. TEMPO/Parliza Hendrawan
Konsep pembangunan permukiman, membangun rumah demi rumah, harus dimulai dari hilir, baru ke hulu. Ini terkait dengan pola permukiman yang berada di sepanjang tepian sungai. Lokasi pembangunan tidak boleh dimulai dari hulu apalagi “lompatlompat”. Jika aturan ini dilanggar, maka pelakunya akan kualat, menurut Syarofie, dalam bukut tersebut.
Rumah Limas dibangun menghadap ke dua arah, yaitu timur dan barat. Bagian yang menghadap ke arah timur disebut sebagai matoari edop atau arah matahari terbut. Sedangkan, arah barat disebut matoari mati, yaitu arah matahari terbenam dan melambangkan akhir dari kehidupan.
Tanpa paku
Rumah Limas dibangun tanpa menggunakan paku. Semua material itu diganti dengan tali dari kulit atau akar pohon, pasak dari kayu atau bambu. Konon, bertujuan untuk mudah dibongkar pasang. Selain itu, penggunaan pasak untuk merekatkan berbagai komponen penyusun bangunannya sehingga lebih kokoh dan tahan guncangan. Pasak dipercaya dapat membuat kayu bangunan tidak mudah patah dan roboh.
Dalam salah satu bagian lainnya diterangkan bila Rumah Limas memiliki berbagai ornamen. Rumah Limas difungsikan sebagai tempat tinggal, tempat prosesi adat, dan museum. Menurut Rumiawati dalam buku itu, masyarakat Melayu dahulu membangun rumah dengan alasan penyelamatan dari bahaya banjir/pasang surut, perlindungan serangan dan ancaman binatang, penghindaran kelembapan, penyimpanan (tempat) peralatan.
Keunikan motif hias Rumah Limas Palembang berciri khas bunga teratai yang dipasang di tiang pintu, melambangkan kesucian. Warna merah melambangkan kemakmuran Orang Melayu menghormati orang tua, saling menyayangi, hidup berpatutan, dan makan berpadanan.
Selanjutnya Rumah Limas Palembang berbentuk panggung