TEMPO.CO, Magelang - Halaman sekolah bernuansa biru itu tampak rapi dan bersih, temboknya tebal dan kokoh serta pohon-pohon tumbuh subur di sekelilingnya. Pada bagian depan, terlihat tulisan nama sekolah tersebut, SMA Tarakanita Magelang, lengkap dengan logonya.
Tak banyak yang tahu, SMP dan SMA Tarakanita ternyata pernah menjadi saksi bisu terjadinya peristiwa 'Magelang Kembali'.
Menurut pegiat sejarah Magelang, Gusta Wisnu Wardhana, SMA Tarakanita awalnya didirikan kongergasi Franciscanessen dari Belanda dengan arsitek bangunan Van Bebber. "Saat didirikan sekitar 1900-an, bersamaan dengan populernya politik etis, beberapa organisasi keagamaan mulai mendirikan sekolah walaupun hanya untuk kalangan tertentu saja," kata dia saat memandu Walking Tour bertajuk Groote Weg Noord Pontjol, Ahad, 18 Juni 2023.
Gusta mengatakan sekolah tersebut resmi digunakan pada 1902 dan menjadi sekolah formal pertama di Magelang. "Dulu satu daerah ini adalah kompleks sekolah yang terbagi menjadi 2 bagian, timur dan barat jalan raya," ujarnya.
Menurut Gusta, bangunan di sisi timur Jalan Ahmad Yani meliputi bangunan-bangunan yang sekarang menjadi SMP Tarakanita, SMK PIUS dan kantor Detasemen Polisi Meliter (CPM) Magelang. "Di sisi barat jalan raya, meliputi bangunan-bangunan yang sekarang menjadi TK dan SD Tarakanita dan kawasan yang menjadi Pengadilan Negeri Magelang," ujarnya.
Di sana ada tiga jenis pendidikan yang dibentuk konggregasi Franciscanessen pada waktu itu, yaitu Eerste Frobel School atau sekolah setingkat TK, Eurospeech Lagere School atau sekolah setingkat SD dengan lama pendidikan 7 tahun serta Meisjes School atau sekolah kepandaian putri. "Semua tingkatan dalam sekolah tersebut menggunakan Bahasa Belanda," kata Gusta.
Tak hanya digunakan sebagai gedung sekolah, di awal berdirinya, Tarakanita memiliki bangunan untuk asrama putri dan koster. Sebagai informasi, koster adalah para petugas yang bertanggung jawab untuk mengurus sakristi, bangunan gereja dan isinya.
Saksi peperangan di Magelang
Gusta mengatakan, SMP dan SMA Tarakanita pernah diambil alih Jepang pada 5 Maret 1942 untuk dijadikan markas militer. "Kala itu, suster-suster pengelola sekolah yang berbangsa Belanda diinternir (ditahan) oleh tentara Jepang di Beteng Banyubiru Ambarawa," kata dia.
Gusta juga mengisahkan, pada 1947, kawasan tersebut diduduki oleh Tentara Geni (Zeni) Pelajar dan kemudian dijadikan sekolah peralihan untuk Tentara Pelajar. "Termasuk pejabat negara yang menjadi alumninya adalah Letjen (Purn) Soedarmono, SH yang perneh menjadi wakil presiden RI era Orde Baru," kata dia.
Menurut Gusta, sekolah peralihan setingkat SMA tersebut siswanya adalah para pelajar yang ikut perjuangan bersenjata bersama TNI. "Pada saat mereka tidak bertempur, mereka bersekolah di sini. Salah satu siswa yang pernah bersekolah di sana," ujarnya.
Sembari menyusuri Jalan Ahmad Yani, Gusta menceritakan, pada 19 Desember 1948, ketika tentara Belanda menyerbu ibu kota RI di Yogyakarta, gedung Tarakanita dan sekitarnya diledakkan para tentara pelajar. "Kala itu bisa disebut Magelang dibumihanguskan sebagai strategi perang gerilya," kata dia.
Namun, menurut Gusta, saat Belanda mengakui kedaulatan RI, kawasan sekolah ini oleh pemerintah RI dikembalikan kepada Keuskupan Agung Semarang. "Wilayah yang diakui sudah minus bangunan yang sekarang menjadi kantor CPM dan Pengadilan Negeri dengan alasan yang diketahui," ujarnya.
Setelah peristiwa tersebut, tepatnya pada 1950 oleh Mgr. Sugiya Pranata (Uskup Agung Semarang), kawasan Tarakanita tidak dikembalikan kepada kongergasi suster Franciscanessen karena para ordo tersebut kekurangan tenaga pendidik. "Suster kongergasi Carolus Boromeus (CB) akhirnya dipercaya oleh Mrg. Sugiya untuk meneruskan pengelolaan sekolah hingga hari ini," kata Gusta.
Pilihan Editor: Walking Tour Mlampah, Berwisata Sambil Belajar Sejarah Magelang