TEMPO.CO, Jakarta - Keindahan benda-benda langit saat malam memunculkan tren berwisata astrotourism. Tren wisata ini bermula ketika seorang konglomerat dari Amerika Serikat bernama Dennis Anthony Tito berwisata ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (International Space Station) mengorbit setinggi 400 kilometer di atas Bumi, sebagaimana dikutip dari artikel ilmiah Astro-Tourism as a High Potential Alternative Tourist Attraction in Tanzania.
Astrotourism semakin diminati tidak lepas dari perkembangan pengamatan astronomi dan penemuan terbaru tentang alam semesta, sebagaimana dikutip dari Multidisciplinary Digital Publishing Institute. Hal itu dipengaruhi kapasitas observatorium dan planetarium yang memberikan pengalaman berkualitas sehingga menciptakan motivasi yang kuat untuk berwisata mengamati benda-benda langit.
Observatorium adalah gedung yang dilengkapi teleskop, teropong bintang untuk keperluan pengamatan dan penelitian ilmiah tentang benda-benda langit. Adapun planetarium bangunan berkubah setengah lingkaran untuk memperlihatkan susunan bintang-bintang di langit.
Astrotourism merupakan aktivitas yang memungkinkan orang untuk dapat mengenali dan memahami alam semesta. Pengalaman wisata astronomi karena kekaguman, imajinasi, terhadap pemandangan langit malam yang cerah penuh bintang. Wisata astronomi tak hanya sekadar melihat pemandangan luar angkasa dari langit gelap. Berkunjung ke observatorium dan planetarium juga termasuk astrotourism.
Berbagai fenomena astronomi yang memikat masyarakat terutama gerhana, aurora dan hujan meteor. Fenomena ini bisa diamati menggunakan alat bantu atau mata telanjang. Semakin tinggi minat itu, maka beberapa negara juga mengembangkan wisata astronomi, di antaranya Gurun Atacama, Amerika Serikat dan sekitar wilayah Pegunungan Andes di Cile, Peru dan Bolivia.
Di Indonesia, Geopark Belitong merupakan destinasi astrotourism. Dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Taufiq Hidayat menjelaskan, model wisata alam berkonsep astrotourism itu mengajak orang melihat keindahan benda-benda langit saat malam.
“Alasan model turisme baru ini muncul karena sekarang banyak orang-orang tinggal di perkotaan. Kalau malam hari hanya melihat langit yang terang,” katanya dikutip dari situs web Institut Teknologi Bandung.
WILDA HASANAH