TEMPO.CO, Jakarta - Di Kabupaten Jayawijaya, Papua, terdapat sebuah kecamatan atau distrik bernama Silo Karno Doga. Kata Karno dari nama distrik itu berasal dari nama Sukarno, presiden pertama Indonesia.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan Distrik Silo Karno Doga memiliki sejarah penting dalam perjuangan rakyat Irian Barat, nama Papua saat itu, ketika bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. "Kepala suku besar Lembah Baliem bernama Silo Doga bersama kepala suku Lembah Baliem lainnya, yaitu Kurulu Mabel dan Ukuemearek Asso merupakan tokoh penting pada masa Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera pada 1969," kata Hari Suroto kepada Tempo, Rabu 2 Desember 2020.
Para kepala suku tersebut mendirikan honai -rumah adat Papua, sebagai markas perjuangan di Wamena. Kini lokasi honai tersebut menjadi Studio RRI Wamena. Pada 1960-an, Presiden Sukarno mengundang Silo Doga, Kurulu Mabel, dan Ukuemearek Asso ke Istana Kepresidenan di Jakarta.
Suasana Sungai Baliem yang tenang dan berair dingin. Foto: @rolanddaniello
Saat itulah terucap ikrar kesetiaan para kepala suku Lembah Baliem yang dipimpin oleh Silo Doga dihadapan Presiden Sukarno bahwa Irian Barat adalah bagian dari NKRI. "Silo Doga terkesan dengan Presiden Soekarno," kata Hari Suroto. Sebab itu, dia minta agar nama Skarno menjadi namanya, sehingga menjadi Silo Karno Doga.
Perpaduan nama ini, menurut Hari Suroto, juga menjadi simbol persaudaraan, kasih, dan kesetiaan. "Setelah kembali ke Lembah Baliem, maka wilayah ulayatnya dinamakan Distrik Silo Karno Doga," kata Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih.
Distrik Silo Karno Doga merupakan kecamatan dengan wilayah terluas di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Distrik Silo Karno Doga dilintasi Sungai Baliem yang menjadi habitat alami udang selingkuh. Di sana juga terdapat sebuah mumi Pumo yang sangat terkenal. Mumi ini disimpan di sebuah honai oleh pewarisnya.