TEMPO.CO, Jakarta - Para wisatawan yang datang ke Papua mungkin pernah mendapat tawaran untuk berfoto bareng pria yang memakai koteka. Jika diminta membayar, jangan langsung menganggap mereka mata duitan atau matre, apalagi berpikir ini mata pencahariannya.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menjelaskan sebab orang membayar saat berfoto bersama atau memotret pria yang memakai koteka. "Bagi masyarakat Papua, itu sebagai bentuk apresiasi dan tanda terima kasih," kata Hari Suroto kepada Tempo, Kamis 12 November 2020.
Begitu tiba di Bandara Wamena, sejumlah orang berkoteka akan menyambut wisatawan dan mereka menawarkan diri untuk berfoto bersama. Begitu juga jika ada pendatang yang masuk ke Lembah Baliem. Koteka merupakan pakaian tradisional sebagai pembungkus alat kelamin pria.
Koteka terbuat dari buah labu yang bentuknya panjang. Isi buahnya dibuang lalu kulitnya dibakar sampai kering berwarna coklat kehitaman. Koteka digunakan oleh pria dari suku-suku yang tinggal di wilayah pegunungan Papua.
Peserta mempertunjukan tarian tradisional dalam Festival Budaya Lembah Baliem, di Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Papua, 8 Agustus 2017. Tempo/Rully Kesuma
Lantas berapa besaran tanda terima kasih yang patut diberikan kepada pria berkoteka itu? "Sekitar Rp 50 ribu per orang yang memotret," ucap Hari yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih.
Jika tak punya uang, Hari Suroto mengatakan, ada satu momentum di mana wisatawan bebas memotret orang yang memakai koteka. "Saat Festival Budaya Lembah Baliem berlangsung, wisatawan bebas memotret orang berkoteka," ucapnya. "Tak perlu bayar dan banyak pilihan spot foto atraksi orang memakai koteka."
Ketika sudah memiliki potret pria yang memakai koteka, jangan asal mengunggah gambar itu ke media sosial. Hari Suroto menceritakan seorang pengajar Australian National University yang mengunggah para pria dari Suku Dani berkoteka ke media sosialnya. "Foto-foto itu diblokir," ucap Hari Suroto.
Adalah Facebook dan Instagram yang memblokir foto tersebut karena dianggap bermuatan pornografi, tak peduli itu adalah bagian dari atraksi seni dan budaya. Sebab itu, Hari Suroto menyarankan agar memburamkan foto-foto pria berkoteka jika ingin mengunggahnya ke media sosial.