TEMPO.CO, Jakarta - Artis Raline Shah terkejut luar biasa, saat snorkeling di Teluk Cenderawasih, Kabupaten Nabire. Saat selam permukaan, tetiba ia berpapasan dengan dua ekor hiu paus. Kejadian itu, ia unggah di akun Instagramnya, @ralineshah.
Para penyelam dunia mendamba bertemu paus hiu, setidaknya itulah pengakuan Eric Rosen, penyelam yang menulis pengalamannya bertemu hiu paus di Teluk Cenderawasih. Ia menuliskannya di Travel and Leisure, “Di Teluk Cenderawasih terdapat lusinan hiu paus, yang membuat perjalanan ke Indonesia menjadi perjalanan paling berharga dalam hidup saya,” tulis Rosen, yang saat menyelam baru saja memperoleh sertifikat scuba.
Menurutnya, selama beberapa kali penyelaman, ia melihat lebih dari selusin hiu paus mulai dari remaja sepanjang 4,5 meter. Sementara hiu paus dewasa panjangnya mencapai nyaris 10 meter. Meskipun termasuk ikan raksasa, dengan berat mencapai 20 ton – seberat bus sekolah -- hiu paus termasuk satwa jinak.
Meskipun mereka memiliki ratusan gigi kecil di mulut, raksasa lembut ini makan dengan cara menyaring plankton dan ikan kecil. Ikan soliter ini, bermigrasi dan muncul secara musiman di Australia, Belize, Meksiko, dan Filipina. Namun di beberapa perairan Flores, Nusa Tenggara Timur dan Teluk Cenderawasih, hiu paus hampir selalu bisa ditemui. Selain di Teluk Cenderawih, hiu paus juga kerap muncul di Teluk Tomini, Gorontalo.
Rosen, pelancong wisata bahari itu menggarisbawahi, hiu paus sulit diprediksi posisinya. Namun ia menjamin para penyelam bisa bertemu hiu paus sepanjang tahun, di Teluk Cenderawasih, Papua. Lokasi Teluk Cenderawasih berada sepanjang pantai utara Papua, atau sekitar 2.000 mil sebelah timur Jakarta. Kawasan lindung Taman Nasional Teluk Cenderawasih mencakup sekitar 5.400 mil persegi dan merupakan taman nasional laut terbesar di Indonesia.
Taman Nasional Teluk Cenderawasih tak kalah indahnya dengan Raja Ampat. Keduanya merupakan segitiga terumbu karang dunia. Ukuran taman nasional yang gigantis itu, ternyata tak banyak dijelajahi wisatawan. Wilayah itu hanya memiliki beberapa desa kecil, yang penduduknya menangkap ikan dan bertani dengan cara tradisional.
Nelayan-nelayan ini, berlayar ke laut selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di anjungan terapung tradisional yang disebut bagan. Mereka membentuk hubungan simbiotik dengan hiu paus. Hubungan antara nelayan dan hiu paus, mencegah penangkapan ikan komersial yang mendorong tumbuhnya pariwisata berbasis konservasi.
Seorang penyelam berenang bersama dua ikan hiu paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Kwatisore, Nabire, Papua, Senin (14/10). TEMPO/Rully Kesuma
Hiu-hiu umumnya berkumpul di Desa Kwatisore di sepanjang semenanjung di tepi barat daya teluk. Para nelayan pemilik bagan sudah lama menganggap hiu paus itu menguntungkan, karena dianggap menjauhkan pemangsa dan hiu lain dari bagan. Dalam bahasa lokal, nama untuk mereka adalah gurano bintang, yang berarti "bintang hiu" berkat bintik-bintik khas mereka – yang fungsinya seperti tanda pengenal atau sidik jari.
Setiap malam, para nelayan menurunkan jaring yang sangat besar untuk menangkap ikan, seringkali mendapatkan banyak ikan kecil. Ikan kecil-kecil itu, biasanya gunakan untuk memancing ikan yang lebih besar. Lambat laun, mereka memperhatikan bahwa hiu paus tertarik pula untuk memakan ikan-ikan kecil itu -- yang membuat jala kusut ataupun robek.
Para pemilik bagan, akhirnya berbagi. Tangkapan berupa ikan kecil-kecil diberikan kepada hiu paus, sehingga tak merusak jala lagi. Hal itu mereka lakukan sebelum datangnya organisasi lingkungan dunia ataupun para pelancong.
Konservasi Hiu Paus
Sekarang, warga lokal dapat terus memancing seperti biasa, tetapi juga mendapatkan uang dari pengunjung yang datang untuk snorkeling dan menyelam bersama hiu paus. Kegiatan wisata itu tentu tak dilakukan sembarangan, ulas Rosen. Ada Conservation International dan World Wildlife Fund (WWF) yang sangat aktif di daerah tersebut. Mereka bahkan mengamati dan mempelajari hiu paus secara lebih rinci.
WWF juga bekerja dengan pemantau dari pemerintah Indonesia, untuk secara bertanggung jawab mengembangkan strategi pariwisata dan kode etik -- untuk kegiatan yang melibatkan hiu paus.
Hingga saat itu, meskipun pengunjung dapat menyelam dengan hiu - yang tidak terjadi di sebagian besar tempat-tempat lain di mana mereka ditemukan - penyelam diberi penjelasan singkat mengenai aturan berenang dengan hiu paus.
“Itu termasuk tidak ada sentuhan, tidak ada flash fotografi, menjaga jarak penuh hormat, membatasi jumlah penyelam di air pada saat tertentu, dan hanya menghabiskan waktu singkat di dalam air bersama mereka setiap hari,” tulis Rosen.
Mengingat lokasi Teluk Cenderawasih yang terpencil, pemerintah Indonesia menerapkan pariwisata berkelanjutan di perairan tersebut. Namun tak melarang penangkapan ikan di wilayah lain, di luar Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Cara Mengunjungi Teluk Cenderawasih
Perjalanan ke Teluk Cenderawasih membutuhkan serangkaian penerbangan pendek di Indonesia. Wisatawan bisa memulainya di Jakarta, Bali, atau Surabaya. Lalu terbang ke Makassar kemudian ke Biak. Perjalanan masih dilanjutkan naik pesawat kecil ke Nabire atau Manokwari. Dari dua kota itu, terdapat pelayaran reguler ke Teluk Cenderawasih.
Kapal pesiar pinisi Alila Purnama yang melayari Taman Nasional Teluk Cenderawasih pada Maret-Mei, namun juga bisa disewa di luar waktu itu. Dok. Alila Hotels
Sebagian besar orang mengunjungi daerah itu selama sekitar satu minggu di atas kapal (life on board), beberapa di antaranya khusus untuk penyelam, sementara yang lain melayani semua jenis wisatawan.
Banyak yang singgah di dekat Desa Kwatisore untuk melihat hiu paus selama satu atau dua hari. Lalu dilanjutkan menyelam di beberapa lokasi. Kapal pesiar tradisional Alila Purnama dengan lima kabin yang mewah, memiliki jadwal berlayar di Teluk cenderwasih dari Maret hingga Mei setiap tahun. Kapal mirip pinisi ini, bisa pula disewa pada waktu lain.