TEMPO.CO, Jakarta - Mendengar nama Desa Penisir, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara ini pasti ingatan melayang pada peristiwa yang sempat heboh, terkait Gafatar. Lepas dari itu, alam Desa Penisir, sebenarnya cukup indah, dengan hamparan hijau lahan pertanian potensial di antara bukit-bukit di sekelilingnya.
Baca juga: Ada Gereja Hantu di Republik Ceko, Seperti apa Penampakannya?
Di kiri-kanan jalan desa, terlihat juga berbagai jenis hortikultura yang siap panen, durian, duku, rambutan dan lai (durian jingga khas Borneo).
Pemborong buah tampak sibuk memuat hasil panen hortikultura milik warga lokal, khususnya durian, ke dalam mobil-mobil pikapnya.
Suasana hidup di Desa Penisir itu hanya bersifat musiman, yakni hanya saat musim buah saja karena yang kini tinggal di sana hanya sekitar 20 KK (kepala keluarga). Sebagian rumah ternyata tidak berpenghuni.
Sejumlah rumah dekat sekolah PAUD (pendidikan anak usia dini) tampak kosong serta tidak terurus karena halamannya dipenuhi semak dan ilalang. Alat-alat bermain di halaman PAUD juga tampak dililit tumbuhan menjalar.
Beberapa rumah tampak masih memiliki kain tirai namun sebagian sudah terkoyak dihembus angin karena pintu dan jendela tak berdaun lagi.
Semarak kehidupan dengan berbagai kegiatan yang pernah ada di sana, kini hanya berupa sisa-sisa bangunan telantar.
Tepat tiga tahun silam atau Januari 2016, pemerintah harus mengungsikan, dan kemudian memulangkan hampir 150 jiwa warga anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dengan dalih khawatir terjadi konflik horizontal.
Sejak warga Gafatar meninggalkan kawasan itu, warga lokal juga enggan tinggal di Desa Penisir sehingga penampakan eks pemukiman Gafatar mirip "Kota Hantu".
Ada berbagai alasan warga lokal enggan kembali. Terutama karena sampai kini pemerintah enggan membangun jaringan listrik.
Berikutnya, kisah Desa Penisir yang pernah berkembang dan kemudian menjadi kota yang sepi