TEMPO.CO, Badung - Kemeriahan meruap di jalan raya depan pura Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, Senin, 24/9, lalu. Saat itu para muda-mudi setempat tengah menggelar tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon atau dikenal dengan Siat Tipat.
Tradisi ini juga dikenal dengan sebutan perang tipat. "Karena ada prosesi saling melempar," kata Pimpinan Desa Adat Kapal Ketut Sudarsana, di Desa Adat Kapal, Senin, 24/9.
Baca juga: Lomba Lari Menyongsong Matahari Terbit di Kabupaten Badung
Perang Tipat diawali dengan dua kelompok, yakni warga laki-laki dan perempuan, yang saling melempar kue di halaman pura tersebut. Para lelaki berkumpul di sisi utara menggenggam kue bantal yang terbuat dari bahan ketan. Kue ini umumnya dikenal juga dengan sebutan lepet. Sedangkan perempuan di sisi selatan menggenggam tipat dari bahan beras.
Kue bantal dan tipat itu dilemparkan ke atas agar berbenturan di udara. Saat aksi lempar ke atas inilah suasana menjadi riuh.Tradisi perang tipat bantal di Desa Adat Kapal, Buleleng, Bali. TEMPO/Ketut Efrata
Ketut menjelaskan kue bantal adalah simbol unsur purusa atau laki-laki. Sedangkan tipat merupakan unsur pradana atau perempuan. "Karena dalam proses alam pertemuan itu menghasilkan kehidupan yang baru, dari dua unsur yang berbeda itu," kata dia.
Ketut Sudarsana mengatakan tradisi ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah kehidupan. "Prosesi ini diadakan setiap tahun," katanya.
Kue-kue yang menjadi perangkat utama tradisi dibuat oleh setiap keluarga, yakni masing-masing 6 kue bantal per dan 6 kue tipat.
Salah seorang warga, Anom Adi Baskara, 18 tahun, menyatakan kegembiraannya karena tradisi itu masih dipertahankan. Ia juga ikut dalam perang tipat itu. "Lumayan sakit kena lempar. Tapi tradisi ini bagus agar warga desa berkumpul," kata Anom, 18 tahun.
BRAM SETIAWAN (Bali)