TEMPO.CO, Jakarta - Mesin kapal tiba-tiba mati. Daeng, si nakhoda, langsung buru-buru mengengkol diesel. “Kayaknya menabrak sesuatu,” katanya, menjawab ekspresi panik saya yang tak sabar menanyakan musababnya. Saat itu kami tengah berada di perairan Celebes, Sulawesi Utara, menuru Pulai Nain Kecil.
Baca juga: Di Pulau-pulau Kecil, Jumlah Komodo Cenderung akan Naik
Pulau Nain Kecil, secara administrasi masih termasuk kawasan Taman Nasional Bunaken, Kecamatan Wori, Minahasa. Nama pulau ini memang hampir tak terdengar gaungnya. Konon, pulau ini sepi lantaran tak berpenghuni. Justru itulah saya tertarik ingin mendatangi.
Di atas kapal itu cuma ada kami berempat: saya, Andi (rekan jalan dari Jakarta), Daeng, dan seorang awak kapal didikan Daeng. Kami terombang-ambing gelombang yang sedang pasang di perairan Celebes, Sulawesi Utara. Air laut masuk seketika, setelah kapal oleng ke kanan, ke kiri, tanpa henti.
Awak kapal Daeng mengambil galah untuk mengukur kedalaman air. “Tak sampai 3 meter,” katanya. Baru kami tahu kalau kapal itu telah menabrak pasir timbul yang akan membentuk pulau ketika air surut.
“Ini tandanya kita sudah dekat. Itu Pulau Nain Kecil sudah kelihatan,” ucapnya agak berteriak, tersaru deru mesin yang baru saja menyala.
Menurut pengakuan Daeng, jarang ada wisatawan minta diantar ke Nain Kecil. Kalau pun ada, biasanya cuma turis asing. Jumlahnya pun segelintir. “Makanya saya kaget ketika kamu minta diantar ke Nain Kecil.”
Nain Kecil cukup jauh dari daratan Manado. Waktu tempuhnya kira-kira 3 jam dengan kondisi gelombang tak tentu. Kalau diukur, waktu perjalanannya tentu lebih lama dibanding pelayaran menuju Bunaken, yang cuma 30 menit dari kota.
Namun, selama berlayar, suguhan pemandangan pulau-pulau yang dilalui kapal tak habis membuat napas ditarik panjang. Ada Pulau Bunaken, Siladen, Manadotua, dan Montehage yang membuat lanskap berwarna. Menuju Nain Kecil, kapal juga sempat diikuti lumba-lumba. Mereka berperan seperti penunjuk arah.
Kapal kami tiba-tiba sudah menepi di Nain Kecil, tak lama setelah menabrak pasir timbul. Ada perasaan asing ketika saya mendekat. Pulau itu kosong, sepi, dan tak ada aktivitas apa pun. Paling-paling ramai suara ombak memecah karang atau derik serangga.
Nain tak punya pantai yang luas. Tapi pasirnya putih dan lembut, selembut bubuk susu. Beberapa sisi berkarang dan berbatu. Bebatunnya mirip yang bisa dijumpai di Pulau Lengkuas, Belitung. Hanya, luas daratan Nain Kecil jauh lebih kecil.
Di serambi pulau itu, tumbuh tanaman bakau yang subur. Sedangkan di bagian dalam, hanya ada karang-karang padas dan beberapa pohon. Di sisi sayap hingga punggung pulau, terdapat rumah-rumah panggung. Kabarnya, rumah ini dibangun oleh nelayan sebagai tempat singgah saat mereka memanen rumput laut.
Saya mencoba memanjat panggung-panggung kayu itu, dan lantas masuk ke salah satu rumah. Beberapa penampang lapuk ketika diinjak.
Rumah-rumah ini tak punya daun pintu. Di dalamnya pun tak ada perabotan barang satu-dua pecah-belah. Namun ada beberapa kaus dan celana yang diletakkan tak tentu. Dari jendela rumah, saya menatap ke arah laut.
Di seberang, terlihat pulau yang ukurannya jauh lebih besar. Besarnya hampir berpuluh kali lipat. “Itu Nain Besar, tempat saya lahir,” tutur Daeng. Nain Besar adalah pulau berpenduduk padat. Ada tiga kampung utama di dalamnya: Bajo-Siau, Tampi, dan Tarente. Mayoritas berasal dari suku Bajo atau Bajau.
Hampir sore dan Nain Kecil makin sunyi. Beberapa gagak mondar-mandir di atas pulau. Ombak makin petang juga makin meninggi. Meski enak untuk menyepi, pulau ini tak nyaman disinggahi sendiri. Juga tak cocok untuk bermalam.
Wisatawan yang mau berkunjung ke pulau ini harus mengeluarkan kocek lebih dalam dibanding bila ingin ke Bunaken. Harga sewa kapalnya berkisar Rp 1-1,5 juta, hampir dua kali lipat dibanding ke Bunaken.
Untuk menyewa kapal, wisatawan bisa datang langsung ke Pelabuhan Calaca. Lokasinya tepat di depan Pasar 45, dekat pusat perdagangan Manado tempo dulu. Harga sewa bisa lebih murah bila bernegosiasi langsung dengan empunya kapal.
Waktu terbaik datang ke pulau ini adalah pada saat kemarau. Sebab, gelombang tak terlalu tinggi dan pemandangan matahari terbit serta terbenam pun tak bakal tertutup mendung.
Artikel lain: Restoran Por Que No, Makan Malam Romantis Saat Valentine