TEMPO.CO, Jakarta - Setiap musim hujan tiba, Bendung Katulampa yang berada di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, selalu menjadi pusat perhatian warga Jakarta dan sekitarnya. Kenapa? Karena perkembangan debit air di bendungan ini yang akan menentukan: apakah Jakarta banjir atau tidak.
Bendung Katulampa adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bendungan ini mulai dioperasikan tahun 1911, tapi pembangunannya dimulai pada 1889.
Ada peristiwa besar yang melatarbelakangi pembuatan Bendung Katulampa ini, yakni, banjir besar yang melanda Jakarta pada 1872. Banjir saat itu dikabarkan membuat daerah elite Harmoni ikut terendam air luapan Sungai Ciliwung.
Bangunan ini pun bertujuan sebagai peringatan dini atas air yang sedang mengalir ke Jakarta serta sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektare yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendung.
Baca juga: Memahami Katulampa sebagai Patokan Banjir Jakarta
Bangunan yang melintang sepanjang 74 meter ini adalah karya Ir Hendrik van Breen, insinyur sipil yang ahli dalam bidang pengairan dan kesehatan lingkungan. Hendrik adalah guru besar Teknik Sipil Bidang Bangunan Air Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung.
Pembangunan bendungan ini menghabiskan biaya 80 ribu gulden.
Bendung Katulampa diresmikan penggunaannya pada 11 Oktober 1912 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg, didampingi para pejabat penting masa itu. Peresmian bendungan ini dimeriahkan pula dengan gamelan dan tari-tarian, serta upacara selamatan dengan kepala kerbau.
Tahun 2004, untuk pertama kalinya Bendung Katulampa direnovasi. Renovasi Katulampa menggunakan dana Anggaran Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 300 juta.
Bendungan ini pun dilengkapi sarana pendukung, seperti pengontrol dasar sungai atau consolidation dam, jembatan Katulampa, dan pembuatan alat ukur saluran induk (untuk mencatat curah hujan). Pemerintah juga menata lingkungan di sekitar bendungan.
Nama Bendung Katulampa naik daun ketika Jakarta dikepung banjir pada 2001. Warga Jakarta mengira Bendung Katulampa berfungsi sebagai bendungan yang bisa menampung banyak air. Dengan demikian, ketika ada isu Bendung Katulampa jebol, warga Jakarta sangat ketakutan akan adanya banjir kiriman.
Padahal fungsi Bendung Katulampa ini sebagai pusat pemantau sekaligus untuk irigasi di Bogor. Air dari hulu sungai di daerah Telaga Warna, Puncak, Cisarua, dan anak Sungai Ciliwung mengalir melewati Bendung Katulampa.
Di sini petugas pemantau selalu mencatat perkembangan ketinggian air, debit air, dan curah hujan setiap jam selama 24 jam, dari pukul 07.00 sampai jam yang sama keesokan harinya. Semua data harian dimasukkan ke buku laporan bulanan.
Pencatatan ini berlangsung sejak Bendung Katulampa ini berdiri. Jadi data yang ada bisa dijadikan acuan pada awal musim penghujan, pertengahan musim penghujan, hingga musim kering.
Sejak zaman dulu hingga sekarang, apa yang terjadi di Bendung Katulampa membuat waswas pejabat dan masyarakat saat musim hujan. Namun warga sekitar juga kerap memanfaatkan air di sekitar bendungan. Misalnya, anak-anak suka berenang di dekat bendungan, atau ibu-ibu yang mencuci pakaian menggunakan aliran Bendung Katulampa.
KORAN TEMPO | BERBAGAI SUMBER
Artikel Lain: Festival Pasola 2018 di Sumba Dimulai Akhir Pekan Ini