Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tiga Malam Menuju Rinca

Editor

Pruwanto

image-gnews
Seekor ikan OLionfishO berenang di perairan Labuan Bajo, 5 Mei 2017. Labuan Bajo dijadikan sebagai 10 destinasi pariwisata prioritas karena banyak menawarkan berbagai bentuk pesona alam yang menakjubkan tak terkecuali keindahan alam bawah lautnya. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Seekor ikan OLionfishO berenang di perairan Labuan Bajo, 5 Mei 2017. Labuan Bajo dijadikan sebagai 10 destinasi pariwisata prioritas karena banyak menawarkan berbagai bentuk pesona alam yang menakjubkan tak terkecuali keindahan alam bawah lautnya. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta -Gunung Rinjani yang tertutup awan tebal melepas perjalanan kami meninggalkan Pelabuhan Labuhan, Lombok, pada suatu siang di bulan April. Kapal Halma Jaya yang kami tumpangi berangkat menuju Labuan Bajo. Semua peserta tur yang berjumlah 30 orang itu berasal dari luar Lombok. Ada yang datang dari Jakarta, Surabaya, Pekanbaru, Madiun, dan Yogyakarta. Pemilik kapal, Asriel Haryadi, ikut berlayar sekaligus bertindak sebagai pemimpin tur. "Sekarang sudah musim kemarau di sini. Jadi, perjalanan akan mengasyikkan," dia mengungkapkan.

Matahari bersinar terik. Sinarnya menimpa gelombang laut yang tenang. Di depan kami, terlihat pelabuhan feri Lombok dengan beberapa feri yang sedang bersandar. Nun jauh di depan kami terbentang laut yang kebiruan.

Kapal berlayar dengan kecepatan rata-rata 9 knot, setara dengan 16,6 kilometer per jam. Pemandangan di laut semakin sedap saja. Gelombang laut yang tenang membuat kapal tidak terasa bergoyang. "Inilah untungnya berlayar pada saat teduh," kata Jumaing, kapten kapal. Mereka yang tidak terbiasa naik kapal pun tidak akan mabuk laut mengikuti pelayaran ini.

Tiga jam berlayar, kami singgah di Pulau Kenawa. Di pulau ini ada bukit yang menjanjikan pemandangan indah ke arah Pulau Sumbawa dan beberapa pulau di antara Sumbawa dan Kenawa. Kenawa sendiri tidak kalah indahnya. Tidak jauh dari pantai pulau, kapal berhenti. Kami turun ke laut, lalu menaiki speed boat yang disediakan kapal menuju Kenawa.

Menjelang malam, barulah kami meninggalkan Kenawa. Pada beberapa tempat terlihat guratan merah di ufuk barat. Sesampai di kapal, Jumaing menunjukkan kepada kami Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. Gunung setinggi 2.850 meter itu diliputi warna merah, sedangkan Sumbawa terlihat berwarna hitam.

Baca Juga:

Keesokan paginya, kami singgah di Pulau Moyo untuk menikmati keindahan air terjun Air Mata Jitu. Bagi yang berminat, tempat ini menyenangkan untuk bermain air. Kami kembali menaiki speed boat untuk bisa mencapai pantai pulau. Dari bibir pantai butuh waktu sekitar 15 menit menuju lokasi air terjun yang tersembunyi di balik hutan.

Menjelang siang, kapal kami melewati Gunung Sangiang yang terletak di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Gunung setinggi 1.949 meter itu pada 29 Mei 2014 memuntahkan abu vulkaniks. Akibatnya, kata Jumaing, seluruh penduduk di kaki gunung mengungsi ke Sumbawa. Mereka tidak mau lagi tinggal di situ. "Namun mereka masih berkebun dan beternak di sana. Mereka melihat kebun dan ternak sekali sepekan," dia mengimbuhkan.

Ketika melewati Pulau Satonda, Jumaing bercerita bahwa di pulau ini terdapat sebuah danau berair asin. Kadar garamnya melebihi kadar garam Laut Mati. "Tapi kita tidak bisa ke sana karena pulau tersebut sudah dikuasai investor. Mereka mengutip biaya sangat mahal untuk kapal yang merapat di situ. Semua operator wisata keberatan. Kami memboikot pulau tersebut," Jumaing menuturkan.

Kami hanya terdiam mendengar penjelasan Jumaing. Ternyata penguasaan pulau oleh pendatang sudah sampai ke sini. Betapapun masuk akalnya penjelasan Jumaing, tetap saja kami kecewa lantaran tidak bisa mampir di Satonda.

Hari kembali berganti. Jumaing masih mengemudikan kapalnya dengan kecepatan sedang meski kecepatan maksimum kapal mencapai 12 knot. Dia tidak tergesa-gesa mencapai obyek kunjungan berikutnya, Gililawa. Kami senang. Kami bisa rileks menikmati pemandangan laut. Sesampai di atas bukit di Gililawa, pikiran kami terasa lapang. Pemandangan ke bawah sangat indah. Tidak rugi rasanya repot mendaki bukit yang jalannya dipenuhi kerikil tersebut.

Ketika kami sudah berada kembali di kapal, Jumaing menyampaikan informasi bahwa besok kami akan mampir di Pulau Padar, Rinca, dan Kelor. "Setelah itu, kapal akan berlabuh d Labuan Bajo," kata dia.

Ketika sampai di Pantai Pink yang terletak di Pulau Komodo, para penumpang berhamburan ke pantai tersebut. Pantai ini disebut Pantai Pink karena dulu pasir yang berada di pantai ini berwarna merah muda. Lama-kelamaan warna merah muda itu hilang dan berganti menjadi putih. Tapi namanya tetap saja Pantai Pink.

Belum jelas benar penyebab pasir merah muda di pantai ini. Beberapa orang berpendapat warna merah muda berasal dari pecahan karang berwarna merah yang sudah mati. Karang semacam ini memang banyak ditemukan di perairan Pantai Pink. Pendapat lain menyebutkan warna tersebut berasal dari hewan mikroskopik yang memproduksi warna merah terang pada terumbu karang.

Selain pasirnya yang punya sejarah unik, kehidupan bawah laut di Pantai Pink menarik untuk diselami. Taman bawah laut pantai ini seperti istana bagi berbagai jenis ikan, terumbu karang, dan biota laut lainnya.

Keesokan paginya, sekitar pukul 04.30, kami sudah bangun dan bergegas menuju Pulau Padar. Kami khawatir kesiangan tiba di Bukit Padar. Mengapa? Kami bukan ingin menyaksikan matahari terbit, melainkan "keajaiban alam" berupa panorama tiga pantai. Pemandangannya akan menjadi semakin indah kalau dilihat sebelum matahari terbit.

Panorama tiga pantai inilah yang menjadi daya tarik utama Pulau Padar. Sebelum mentari bersinar, ketiga pantai ini seolah-olah berada pada garis pantai yang berbeda. Ketiganya baru bisa disaksikan dari puncak atau pertengahan Bukit Padar. Tapi untuk mencapai puncak Bukit Padar tidaklah mudah. Dari bibir pantai, kami harus mendaki jalanan tanah yang berbatu. Medannya cukup terjal. Butuh waktu 30-45 menit untuk sampai di puncaknya. Namun, dari pinggang bukit, pengunjung sudah bisa melihat pesona tiga pantai di Pulau Padar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari Pulau Padar, perjalanan dilanjutkan menuju destinasi utama kami: Pulau Rinca. Soalnya, di pulau ini kami bisa menyaksikan komodo, hewan yang nenek moyangnya sudah hidup 50 juta tahun lampau. Para peneliti mengatakan air liur komodo mengandung 60 jenis bakteri. Siapa pun yang digigit hewan melata ini akan lemas. Setelah mangsanya lemas, barulah komodo memakannya.

Memang, selain di Pulau Rinca, komodo bisa ditemukan di Pulau Komodo. Namun pemilik kapal memilih berhenti di Pulau Rinca. Alasannya, komodo di pulau ini lebih mudah ditemui. Sedangkan komodo di Pulau Komodo lebih liar dan sulit ditemui.

Benar saja. Kami sudah bisa bertemu dengan komodo setelah 15 menit berjalan dari dermaga. Kedua komodo itu sedang berteduh di bawah pohon. "Tapi jangan dikira mereka sedang bersantai. Mereka menunggu korban lengah. Begitu lengah, diserang," tutur Abu Talib, pemandu kami selama di Rinca.

Dari Abu kami memperoleh informasi bahwa komodo adalah pemburu yang sabar. Setelah menyerang, dia akan melepaskan gigitannya dan menunggu korbannya tak berdaya. "Setelah tidak berdaya, barulah dia memakan korbannya sampai yang tersisa hanya tulang," tutur Abu. Penjelasan itu tidak membuat kami khawatir. Buktinya, kami tetap berfoto dengan latar depan komodo.

Setelah puas bercengkerama dengan komodo, kami kembali ke kapal. Di atas kapal, Jumaing masih sigap mengemudikan kapalnya. Dia belum terlihat lelah. Dia tetap merespons semua pertanyaan penumpang kapal. Ketika menjawab pertanyaan tentang Pulau Kelor, dia mengatakan bahwa pulau ini bagus untuk snorkeling. Perairan pulau yang berjarak 30 menit perjalanan kapal dari Labuan Bajo ini dikenal memiliki terumbu karang yang cantik, air yang tenang, dan banyak populasi ikan badut. "Ini pulau terakhir sebelum kita bersandar di Labuan Bajo."

Ana Nadhya Abrar
Penikmat perjalanan

Ransel

- Beberapa operator wisata di Lombok menyelenggarakan perjalanan dari Labuhan, Lombok, ke Labuan Bajo. Nama mereka bisa dicari lewat Internet.

- Biaya perjalanan tergantung kapal yang dipilih dan pelayanan yang diinginkan. Secara umum biayanya Rp 2,1-4 juta per orang untuk perjalanan empat hari tiga malam dengan peralatan seperti pelampung, snorkel, matras, dan selimut.

- Biaya sebesar itu sudah termasuk makan di kapal tiga kali sehari, camilan, minum teh dan kopi selama di kapal, biaya masuk Taman Nasional Komodo, izin memotret di Pulau Komodo dan Rinca, honor pemandu di Rinca, dan asuransi.

- Tempat-tempat yang bisa dikunjungi meliputi Pulau Kenawa (Sumbawa), Gili Bola (Sumbawa),Pulau Moyo (Sumbawa), Pulau Satonda (Dompu), Gililawa, Pantai Pink, Pulau Padar, Pulau Rinca, Pulau Kelor, dan Labuhan Bajo.

- Pemesanan hotel di Labuan Bajo bisa dilakukan dari daerah asal atau minta bantuan operator wisata.

- Karena perjalanan biasanya dimulai pada siang hari dari pelabuhan Labuhan, Lombok, pelancong sebaiknya menginap satu malam di Lombok. Soalnya, Pelabuhan Labuhan terletak di Lombok Timur yang berjarak dua jam perjalanan dari Mataram.

Tulisan ini dimuat Koran Tempo edisi 3 Juni 2017

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


NTB Kembangkan Destinasi Wisata Pantai Selatan Lombok

24 Desember 2016

Wisatawan di pantai Pink, Jerowaru, Lombok Timur, NTB, 3 Oktober 2014. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
NTB Kembangkan Destinasi Wisata Pantai Selatan Lombok

Destinasi ini berada di sepanjang pantai Lombok Tengah hingga


Lombok Barat.