Perjalanan Menantang Menuju Pedalaman Mentawai
Editor
Tulus widjanarko
Jumat, 10 Maret 2017 18:13 WIB
TEMPO.CO, Padang - Bagai penggemar petualangan alam bebas, melancong ke pedalaman Mentawai bisa menjadi salah satu pilihan menarik. Hanya saja, untuk menjelajahi tempat itu diperlukan mental dan fisik yang tangguh.
"Kalau merasa bukan seorang petualang, lebih baik tidak usah bermimpi mau berwisata minat khusus ke pedalaman Mentawai," kata Ade Permana Saputra, seorang pemandu wisata di Muara Siberut, Kepulauan Mentawai.
Ya, untuk sampai ke Mentawai memang mesti menembus medan menantang. Wisatawan harus menyeberangi Samudera Hindia dari Pelabuhan Muaro ke Muara Siberut. Lalu dilanjutkan menyusuri sungai menuju pedalaman, ditambah dengan berjalan kaki.
Menyusuri sungai dari Muara Siberut (ibukota Kecamatan Siberut Selatan) hanya bisa dilakukan dengan sampan kayu bermotor. Oleh penduduk lokal wahana ini disebut pompong.
Pompong tidak dilengkapi dengan kayu penyeimbang atau cadik di kiri dan kanan. Jadi penumpang harus berhati-hati menjaga keseimbangan perahu. Salah melangkah atau tidak bisa menjaga keseimbangan, perahu akan oleng, bukan tak mungkin terbalik menumpahkan seluruh isinya ke sungai berarus deras.
Sampan ini terbuat dari pohon besar. Rata-rata memiliki panjang antara 7-9 meter dan lebar sekitar 60cm. Hanya enam penumpang bisa dimuat di sana. Bila bermuatan penuh, perahu akan merendah, hingga jarak antara bibir perahu dengan permukaan air sungai tidak lebih dari satu jengkal. Membuat hati ser-seran…
Di sampan kecil itulah, rombongan wisatawan harus menguji kekuatan pinggang. Karena posisi tubuh harus duduk meringkuk selama empat jam saat menyusuri sungai menuju Desa Rogogot. “Ketika itu, beberapa tamu saya, gadis muda berusia sekitar 20-an, menjerit-jerit ketakukan saat menembus gelap menyusuri sungai ke hulu,” kisah Ade.
Selanjutnya: Hambatan di Sungai dan Jalan Berlumpur
<!--more-->
Perjalanan selama 30 menit pertama terasa nyaman karena arus sungai selebar rata-rata 25 meter itu mengalun tenang. Sampan bermotor pun melaju tanpa hambatan.
Di jalur ini pelancong akan bertemu nelayan sedang mencari ikan dan petani yang mengolah sagu. Ada juga anak-anak bermain riang memanjat pohon kelapa yang menjorok ke sungai. Hati kita pun ikut senang.
Semakin dekat ke desa tujuan, sungai mulai menyempit dan banyak halangan. Banyak pohon besar melintang. Pengemudi harus hati-hati memilih jalur agar tidak merusak baling-baling motor sampan.
Bagian yang paling berat adalah saat petualangan berlanjut dengan berjalan kaki. Maklum, desa yang dituju tidak berada langsung di pinggir sungai. Diperlukan waktu setidaknya satu jam untuk sampai ke tujuan. Beban ransel di pundak akan semakin terasa berat.
Rute ini berupa jalan setapak yang sebagian besar berupa tanah berlumpur. Agar tidak terperosok ke dalam kubangan, warga setempat membentangkan pohon atau kulit batang sagu.
Jika tidak bisa menjaga keseimbangan saat meniti pohon, alih-alih akan terperosok ke dalam. Dan jika tidak menggunakan sepatu bot, tidak jarang sepatu yang dipakai terlepas dan tertinggal di dalam lumpur.
Namun rasa lelah selama perjalanan segera terobati saat sampai di tujuan. Yakni saat anda mendapat sambutan ramah dan bersahabat dari keluarga Aman Andres, sikerei atau ahli pengobatan tradisional Mentawai, yang juga bertindak sebagai pemuka adat.
Selanjutnya: Menyelani Kehidupan Warga Mentawai
<!--more-->
Sesampai di rumah besar (uma) keluarga Aman Andres di Desa Rogogot, terlihat seorang turis asing asal Swiss bernama Lars. Pria jangkung berusia 20-an itu mengaku sudah tiga hari berada di uma tersebut. “Saya seolah berada di dunia lain yang jauh dari peradaban modern,” kata dia.
Lars mengenal Mentawai melalui cerita ayahnya saat ia masih kanank-kanak. Sang ayah adalah seorang peneliti. "Saya penasaran dan ingin datang sendiri ke Mentawai," kata dia.
Saat keinginannya kesampaian, ternyata Lars betah berada di pedalaman Mentawai. Dia pun ingin memperpanjang liburannya.
Rasa penasarannya juga terpenuhi setelah menyaksikan kehidupan di pedalaman. Semuanya sesuai belaka dengan cerita ayahnya. Misalnya, soal ritual pengobatan oleh sikerei, ikhwal tatto di sekujur tubuh mereka, ornamen-ornamen di uma yang penuh dengan tongkorak monyet hasil buruan, dan lain-lain.
Suardi Kujo, seorang pengusaha biro perjalanan di Padang, mengatakan wisata budaya ke pedalaman Mentawai memang masih menyimpan daya tarik yang tidak habis dijelajahi. Tentu saja ini daya tarik bagi wisatawan dengan minat khusus.
"Meski di pedalaman sama sekali tidak ada listrik, apalagi sinyal telpon genggam, dan penuh perjuangan untuk mencapainya, orang tetap saja penasaran ingin kesana karena menginginkan sesuatu yang beda dengan lain. Terutama mereka ingin mengetahui kehidupan masyarakat yang masih asli," kata Kujo.
Di Mentawai pelancong bisa langsung terlibat seolah-olah menjadi anggota keluarga. Kegiatan tersebut diantaranya adalah berburu, mengolah sagu, mencari ikan di sungai dengan jaring serok, membuat racun panah lalu berburu, menyaksikan tarian tradisional, membuat tatto, dan banyak kegiatan lain.
Ade Kep punya saran, bagi yang ingin berkunjung ke Mentawai disarankan membawa buah tangan tembakau. Orang Mentawai, kata dia, baik pria maupun wanita, adalah perokok berat. Tembakau ini bisa dibeli di Muara Siberut.
ANTARA