Perjalanan Magis di Sungai Sebangau  

Senin, 7 November 2016 17:43 WIB

Sungai Sebangau

TEMPO.CO, Jakarta - Wartawan Tempo Raymundus Rikang dan fotografer Nurdiansah dua pekan lalu melakukan perjalanan di Sungai Sebangau Kalimantan tengah. Sungai ini menjadi persinggahan orangutan, dan bersuasana magis, lantaran mitos yang hidup di tengah kampung nelayan itu. Tulisan ini dibagi menjadi empat bagian.

***

BESAR di sebuah rumah yang dekat dengan Sungai Brantas di Surabaya, membuat saya tak pernah membayangkan ada air sungai yang warnanya selain coklat susu. Sampai saya pergi mengarungi Sungai Sebangau di Kalimantan Tengah, dua pekan lalu. Di sungai ini saya terheran-heran karena air sungainya berwarna hitam kemerahan.

Ahmad Nopriadi, warga Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, siap mengantar saya bersama Berson – ketua kelompok tani lokal – dan Nurdiansah – pewarta foto Tempo. Begitu kami siap, tangan Ahmad terlihat lincah mengatur kemudi perahu klotok yang kami tumpangi.

Sepanjang perjalanan dari Desa Henda, terlihat hamparan bakung di tepi sungai. Beberapa kali punggur kayu bekas kebakaran tahun lalu yang melalap 16 ribu hektare hutan masih tersisa.

Sungai Sebangau adalah salah satu bengawan yang meliuk-liuk di tengah Taman Nasional Sebangau. Masih ada delapan sungai lain yang melintasi kawasan konservasi ekosistem gambut seluas 542 ribu hektare tersebut. Selain Sebangau, ada sungai Katingan, Paduan, dan Koran.

Menurut Suyoko, pegawai bidang Pengendali Ekosistem Hutan TN Sebangau, sungai ini panjangnya sekitar 191,5 kilometer dan bentangnya mencapai 200 meter. Berbeda dengan Sungai Katingan, misalnya, yang hulunya merupakan daerah perbukitan dan mengaliri tanah mineral, Sungai Sebangau hulunya merupakan daerah rawa gambut.

Gambut inilah yang jadi biang air sungai menjadi warna hitam kemerahan seperti air teh pekat. Sebab gambut mengandung tanin, yakni senyawa polifenol yang punya sensasi rasa pahit dan sepat.

Kata Suyoko, tumbuhan memproduksi senyawa itu untuk proteksi dari hewan pemakan tumbuhan. “Jika dikunyah maka rasanya pahit,” ia berujar.

Meski warnanya hitam dan keasamannya mencapai pH 3, Sebangau tetap bisa diceburi. Namun saya tak mau ambil risiko berenang di bengawan yang letaknya di tengah rimba raya ini. Pasalnya ia menjadi habitat bagi puluhan jenis ular dan reptil. Bisa-bisa saya celaka ketika mentas.

Suyoko menambahkan panjangnya Sebangau membuat sungai ini menjadi pengatur siklus hidrologi di tiga wilayah. “Kelembaban kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Pulang Pisau bergantung padanya,” ujar pria 31 tahun ini.

Selanjutnya: Bengawan yang dijaga oleh naga.
<!--more-->

Setelah mengarungi sungai selama kurang lebih tiga jam, saya singgah di pos jaga dan gardu pandang TN Sebangau. Pos ini letaknya persis di percabangan tiga aliran sungai: Katingan, Sebangau, dan anak sungai yang mengarah masuk ke TN Sebangau.

Bangunan pos pantau terbuat dari kayu, khas rumah-rumah yang dibangun di Kalimantan. Sayang ketika saya berkunjung, pos itu sedang tak berpenghuni. Meski begitu gardu pandang tak ditutup untuk kunjungan. Sepasang kaki ini spontan saja bergerak ke arah gardu.

Terdiri dari tiga ambang, gardu ini kira-kira setinggi gedung empat lantai. Menapaki ambang pertama dan kedua, rasa percaya diri saya masih tinggi. Begitu menaiki anak-anak tangga menuju ambang puncak, kaki saya tiba-tiba bergetar. “Krek..krek..krek,” begitu suara kayu anak tangga yang saya injak.

“Lanjut saja naik, kayu ini kuat,” teriak Berson dari ambang kedua. Sesampai di puncak gardu, permainya hutan TN Sebangau dari ketinggian adalah lanskap yang memukau. “Jika kamu datang sebelum kebakaran hebat tahun lalu, hutan ini jauh lebih lebat,” Berson menyergah ketakjuban saya.

Tak disangka, ia mengucapkan itu sambil ikut naik ke ambang puncak. Dalam hati saya terus merapal doa agar kayu-kayu yang kami injak dari ketinggian lebih dari 10 meter ini kuat menopang berat tubuh saya dan Berson.

Saya pun cuma bisa tersenyum kecut melihat Berson yang lincah berpindah dari satu sudut ke sudut lain di ambang puncak untuk memuaskan hobi fotografinya. Sementara saya tetap terpaku di salah sudut, khawatir bila lantai kayu tua tiba-tiba ambrol. “Mari turun, Pak. Sebelum lantai ini runtuh,” kata saya bergurau pada Berson. Tawa kami pun pecah dari atas ketinggian gardu.

Uji nyali dari atas gardu itu cukup membuat perut ini keroncongan. Bekal roti coklat dan sari kacang hijau yang kami bawa dari desa memang tak mengenyangkan, tapi cukup bisa mengganjal perut.

Di tengah percakapan sambil menyantap perbekalan, tiba-tiba Ahmad – si juru mudi perahu -- mengagetkan kami. “Ada anggrek, ada anggrek,” ujarnya berteriak sambil menunjuk tanaman berwarna marun yang mengambang di dekat kayu pancang pos.

Segera saja ia beranjak dari duduknya, bergelantungan di antara tiang-tiang kayu lalu mendarat di gambut basah. Tanpa kesulitan ia mencabut tanaman anggrek itu. “Ini anggrek mahal dan mudah ditanam di belakang rumah,” tuturnya.

Belakangan saya tahu bahwa anggrek yang dibawa pulang Ahmad adalah anggrek hutan. Hutan belantara di Borneo memang terkenal dengan kekayaan floranya. Menurut catatan pengelola TN Sebangau, ada 166 jenis flora yang tumbuh di hutan tersebut.

Aktivitas kami rehat di pos jaga TN Sebangau ternyata menarik perhatian nelayan di seberang sungai. Pos ini memang bertetangga dengan rumah nelayan lokal yang populasinya hanya sekitar 21 kepala keluarga.

Seorang pria berperawakan kecil, kulitnya legam, tetapi otot-ototnya liat merapat dengan mendayung perahu klotoknya. “Mau apa kalian di sini?” ucapnya dengan sorot mata curiga. “Kami dari Desa Jabiren,” jawab Berson dengan bahasa Dayak Ngaju. Seketika saja air muka pemuda ini menjadi ramah. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai Udin. Kepada Berson dengan bahasa lokal, Udin mengatakan penjaga pos baru saja pergi sehari sebelum kami datang.

Menurut Udin, 32 tahun, penjaga pos memang sesekali harus meninggalkan pekerjaannya di pedalaman. Sebab ada beberapa pelatihan yang harus diikuti di kota. “Kalau sudah pergi begitu, ia bisa tak pulang selama seminggu,” ia berujar.

Udin pun dengan cepat larut dalam keakraban bersama rombongan saya. Ketika saya meminta ia mengantarkan ke rumahnya di seberang sungai, Udin tak keberatan. Saya menumpang perahu klotoknya.

Sebelum menepi, Udin memamerkan keramba-keramba yang ia pasang bersama ayahnya untuk menyimpan ikan tangkapan. “Kami tangkap dan menjaga ikan dalam kondisi segar saat pengepul datang,” tuturnya.

Ada beberapa jenis ikan yang ditampung dalam keramba. Ada ikan kapar (Belontia hasselti) yang bentuknya mirip ikan nila dan warna sisiknya hitam. Besar kapar tangkapan ini setelapak tangan balita. Di samping keramba kapar, Udin menunjukkan keramba ikan tapah (Wallago attu). Penampakan tapah seperti lele, tak bersisik dan punya misai alias kumis di sisi mulutnya.

Udin menjelaskan ikan-ikan itu berharga lumayan ketika dijual ke pasar. Sekilo tapah bisa mencapai Rp 18 ribu. Sementara kapar bisa laku kurang lebih Rp 15 ribu per kilogram.

Habis memperlihatkan hasil tangkapannya, Udin mempersilakan saya masuk ke gubuknya. Luasnya cuma 4 meter x 4 meter, dengan satu kamar, satu bilik dapur, dan ruang selonjoran yang biasanya dipakai untuk membuat keramba. “Silakan masuk,” kata lelaki tua dengan sebatang rokok terapit di bibirnya menyambut saya.

Lelaki itu adalah ayah Udin. Namanya Suryansah, 52 tahun. Ia mengaku sudah menjadi nelayan sejak 20 tahun lalu. “Ikan di Sebangau sangat berlimpah, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” ujar Suryansah.

Menurut Suryansah, kekayaan alam Sebangau tak terbantahkan. Ada beberapa jenis ikan dengan ukuran gigantis yang pernah tertangkap. Salah satunya yang ditunjukkan Suryansah pada saya, yakni dua ekor ikan toman (Channa micropeltes) yang besarnya sebetis orang dewasa.

Dua ekor toman itu adalah ikan tangkapan yang besarnya masih bisa melebihi paha orang dewasa. Suryansah mengawetkan ikan itu dengan garam di dalam ember sampai pengepul dari pasar datang ke gubuknya untuk membeli. “Harga sekilonya bisa puluhan ribu,” ia berujar dengan nada girang.

Suryansah percaya ikan di Sebangau akan tetap melimpah selama nelayan tak mengotori sungai. Toh, nelayan lokal mempercayai mitos bahwa bengawan itu dijaga oleh seekor naga. “Kami terakhir mendengar gemuruhnya dua tahun lalu,” ujarnya.

Warga lokal meyakini gemuruh itu karena sang naga sedang membongkar daratan yang dipenuhi tanaman bakung. Kebetulan daratan yang dibongkar itu berada persis di depan gubuk Suryansah. “Dahulu depan rumah ini sungai Sebangau amat sempit, begitu gemuruh itu terjadi pada malam hari lalu bakung itu jadi bertumpuk-tumpuk dan sungai menjadi lebar,” kata Suryansah.

Entah benar atau tidak, tetapi cerita Suryansah itu diamini Udin. Menurut Udin, pada saat malam kejadian ia dan ayahnya tergeragap dari tidur karena dentuman yang mirip bom. “Saat kami sorot pakai senter di luar rumah, air sungai tenang,” ia menambahkan.

Selanjutnya: Menggoda Orangutan
<!--more-->
Meninggalkan kampung nelayan di tepi Sebangau dengan segala mitosnya, kami kembali ke desa. Sinar matahari yang tepat berada di atas ubun-ubun sudah begitu menyengat. Di tengah perjalanan mengarungi sungai, saya bertemu dengan penghobi mancing. “Sebangau memang pernah masuk acara Mancing Mania. Sejak itu banyak penghobi datang kemari,” kata Berson.

Setengah jam usai berjumpa dengan penghobi mancing. Tiba-tiba, teriakan Berson mengagetkan saya. “Orangutan. Orangutan,” teriaknya sambil menunjuk pucuk dahan sebuah pohon.

Ahmad dengan cekatan mematikan mesin perahunya. Ia lalu merapatkan perahu ke tepian sungai. Terlihat jelas ada orangutan (Pongo pygmaeus) yang sedang rehat di atas pohon. Ia sendirian saja.

Mulanya ia nangkring dan terpaku di atas pohon, tak menyadari kehadiran kami yang hanya berjarak lima meter dari pohonnya. Ketika Ahmad mulai mengeluarkan suara-suara aneh dengan nada melengking, orangutan itu baru memalingkan wajahnya ke arah kami.

Makin lama Ahmad mengeluarkan suara yang makin berisik. Saya sudah mengingatkannya agar orangutan itu tak diganggu. Tapi Ahmad tetap saja bandel dan makin menjadi-jadi menggoda orangutan.

Benar saja. Orangutan itu lalu membalas dengan suara yang tak kalah melengking lalu bergelayut pindah ke pohon sebelah. Dengan tangkas ia mematahkan ranting-ranting. Menatanya di dahan kokoh. Lama-kelamaan ranting itu menutupi seluruh tubuhnya seolah bersembunyi. Sesekali ia mengintip. Lucu benar tingkah orangutan yang kesepian ini.

Suyoko mengatakan orangutan yang dijumpai di pinggir sungai biasanya sedang dalam perjalanan mencari makan. Selain itu ia akan membuat sarang jika hari sudah terlampau sore. “Setiap hari ia bisa berpindah-pindah pohon untuk mencari tempat tidur yang nyaman,” ia menjelaskan.

Kami meninggalkan si Pongo beristirahat di puncak pohon. Semakin lama kami mengaguminya, semakin sore kami tiba. Si Pongo menutup perjalanan yang manis di Sebangau yang hitam legam.

Selanjutnya: Tip menyusuri Sebangau
<!--more-->
Agar perjalanan menyusuri Sungai Sebangau Kalimantan tengah yang masih liar ini aman dan nyaman, berikut hal-hal yang perlu Anda ketahui.

-Siapkan krim anti-matahari karena matahari sepanjang perjalanan di atas kapal amat menyengat
-Bawa ransum selama menyusuri sungai. Tak ada warung di perkampungan nelayan yang dijumpai sepanjang perjalanan
-Jika hobi memancing, tak ada salahnya membawa joran Anda dan sedikit menghabiskan waktu memancing ikan khas Sungai Sebangau
-Berjumpa dengan orangutan menuntut kejelian. Anda harus jeli mengamati pucuk dahan pohon yang biasanya menjadi sarang mereka


Menuju Sungai dan TN Sebangau:
-Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya - Carter Taksi ke Desa Kereng Bingkirai atau Desa Henda - Sewa Perahu dari masyarakat
-Ongkos carter taksi dari Palangkaraya sekitar Rp 300 - 500 ribu
-Ongkos sewa perahu sekitar Rp 400 ribu untuk perjalanan sehari penuh.



Waktu terbaik perjalanan:
Juli - Oktober saat musim kering
Desember - Februari saat musim penghujan
Pukul 15.00 setiap harinya pada musim penghujan biasanya adalah waktu orangutan membuat sarang.



Advertising
Advertising

***



Berita terkait

Pantai Ujung Pandaran Sediakan Pos Vaksinasi bagi Pengunjung yang Belum Vaksin

2 Januari 2022

Pantai Ujung Pandaran Sediakan Pos Vaksinasi bagi Pengunjung yang Belum Vaksin

Setiap pengunjung pantai Ujung Pandaran wajib sudah vaksin jika ingin masuk ke objek wisata itu.

Baca Selengkapnya

Agrowisata di Lapas Sukamara, Ruang Kreasi Warga Binaan dan Destinasi Baru

8 April 2021

Agrowisata di Lapas Sukamara, Ruang Kreasi Warga Binaan dan Destinasi Baru

Area agrowisata di Lapas Sukamara itu diberi nama agrowisata Gawi Barinjam.

Baca Selengkapnya

Wisata Andalan Baru Kotawaringin Timur, Susur Sungai Mentaya

3 April 2018

Wisata Andalan Baru Kotawaringin Timur, Susur Sungai Mentaya

Susur Sungai Mentaya dianggap masih memerlukan tempat sandar kapal khusus.

Baca Selengkapnya

12 Orang Utan Kembali Dipindahkan ke Pulau Salat

6 April 2017

12 Orang Utan Kembali Dipindahkan ke Pulau Salat

Yayasan BOS (The Borneo Orangutan Survival) bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah kembali memindahkan 12 orang utan.

Baca Selengkapnya

Taman Nasional Tanjung Puting Siap Terima Wisatawan

16 Maret 2017

Taman Nasional Tanjung Puting Siap Terima Wisatawan

Masyarakat Indonesia juga dunia akan mendapat kesempatan lebih luas untuk menyaksikan bagaimana kera besar dunia direhabilitasi.

Baca Selengkapnya

Ratusan Pengendara Motor Gede Akan Jajal Trans Kalimantan  

27 Februari 2017

Ratusan Pengendara Motor Gede Akan Jajal Trans Kalimantan  

Ratusan pencinta motor besar dari dalam dan luar negeri akan menjajal ruas Trans Kalimantan pada akhir April nanti.

Baca Selengkapnya

Beredar Kabar Rencana Pernikahan Tokoh Gaib Di Kalimantan

23 Februari 2017

Beredar Kabar Rencana Pernikahan Tokoh Gaib Di Kalimantan

Pernikahan Sri Baruno Jagat Parameswari dengan tokoh gaib Dayak Pangkalima Burung bisa dimanfaatkan sebagai gelaran wisata.

Baca Selengkapnya

Gemar Berselfie? Ikuti Lomba Foto Wisata Ini  

3 Februari 2017

Gemar Berselfie? Ikuti Lomba Foto Wisata Ini  

Peserta dipsersilakan berfoto swa-diri (selfie) di tempat wisata Kotawaringin Timur.

Baca Selengkapnya