WISATA PANTAI: Menteri Susi pun Mengagumi Pulau Ini
Editor
Agoeng Wijaya
Rabu, 18 November 2015 14:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lewat layanan online telepon genggam, Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti menyatakan kekagumannya terhadap masyarakat di Meosmangguandi, sebuah pulau di pojok tenggara Kepulauan Padaido, Biak, Papua. "Bagus sekali," kata Susi, pertengahan bulan lalu.
Siang itu, Tempo baru mengirimkan foto salinan peraturan adat yang mulai dibukukan pada 2006. Aturan itu berisi bagaimana masyarakat di Pulau Meosmangguandi mengelola sumber daya alam darat, pesisir, dan laut mereka.
Lihat saja pasal 32. Peraturan adat itu hanya membolehkan penangkapan ikan menggunakan alat ramah lingkungan, seperti nelon, pukat biasa dengan mata jaring tak kurang dari 2,5 inci (63,5 sentimeter), dan senapan molo atau selam. Larangan keras ditetapkan terhadap penggunaan potas, linggis, bom, kompresor, akar tuba, endrin, dan jaring harimau.
Menteri Susi akhir tahun lalu menetapkan moratorium penangkapan ikan oleh kapal perikanan buatan luar negeri alias eks-asing. Nah, warga Meosmangguandi setiap tahun juga menerapkan moratorium penangkapan biota laut. Mereka menyebutnya sasisen yang berarti penutupan atau larangan. Tradisi ini sebenarnya merupakan kearifan lokal di Biak-Numfor. Bahkan, sistem adat serupa dapat ditemui di sejumlah daerah di wilayah timur Indonesia.
Namun, di Meosmangguandi, sasisen tahunan ditetapkan terhadap jenis biota laut tertentu, terutama jika dinilai mulai sulit diperoleh. Februari lalu, misalnya, di dalam gereja warga menyepakati jenis biota laut yang dilarang untuk diburu pada tahun ini. Terpilihlah lobster, teripang, lola, dan kima batu (kerang), juga pea-pea (siput mutiara) yang ketika kami ke Meosmangguandi bulan lalu masih dilarang untuk diburu.
Tak cukup di situ, mereka juga menerapkan sasisen abadi untuk empat kawasan yang untuk selama-lamanya tak boleh ada seorang pun berburu di sana.
Tanjung utara Meosmangguandi adalah kawasan sasisen abadi untuk terumbu karang. Di selatan pulau, tak jauh dari Tanjung Mambrow, ada satu lokasi dijuluki In Pekem, zona sasisen abadi untuk pemijahan kakap merah. Tepat di bibir pantai sebelah utara dermaga, sebuah kawasan menjadi area larangan abadi berburu anadara atau kerang darah. Adapun area bagian barat, pantai berukuran dua kali lapangan bola, dijadikan sasisen abadi untuk teripang.
Sasisen sebenarnya telah diterapkan di Meosmangguandi sejak dahulu kala, jauh sebelum akhirnya diatur secara formal dalam peraturan adat. Yunus Rumkorem, 65 tahun, masih ingat masa kecilnya kerap melarang berburu biota laut, seperti lola, pea-pea, dan pea bulan yang waktu itu dihargai mahal oleh para pelaut dari Buton dan Cina. "Jadi, sasisen motifnya ekonomi," ujarnya. "Kami menunggu panen agar bisa dijual dalam jumlah banyak, ketika kapal pedagang datang," tambah Yunus.
Kala itu, tak perlu ada aturan yang melarang warga menggunakan alat penangkapan tak ramah lingkungan karena mereka tak berani berbuat onar di laut. Seperti masyarakat Biak pada umumnya, orang Meosmangguandi mempercayai keberadaan faknik, hantu yang diyakini bersembunyi di dasar laut. Penjaga laut ini diyakini akan menculik siapapun yang mengganggu samudera.
Namun, seiring waktu kepercayaan terhadap keberadaan faknik memudar, terutama di kalangan anak muda. Pada saat bersamaan, Yunus menceritakan, masyarakat mulai menguasai teknik membuat bom ikan sederhana pada era 1960-an. Bubuk bahan peledaknya mudah mereka peroleh dari sisa-sisa bom dan ranjau peninggalan Perang Dunia II, yang dahulu berserak di perairan sekitar Pulau Nusi, Auki, dan Owi.
Ketiga pulau tersebut merupakan gugusan terdepan Kepulauan Padaido yang berhadapan langsung dengan Pulau Biak. Sekitar 75 tahun lalu, tentara Sekutu membangun pangkalan udara dan laut di tiga pulau tersebut untuk merebut Biak dari tangan Jepang.
Sejak saat itu, kata Yunus--gara-gara nama ini dia kerap dipanggil Bapak Nabi--kebiasaan membuat dan melempar bom ikan mulai marak di Meosmangguandi. Kebiasaan serupa juga menjalar di kalangan warga pulau-pulau lain di Kepulauan Padaido. Setiap malam pun bagaikan perayaan tahun baru di Meosmangguandi. Dentuman bom bersautan dari penjuru Kepulauan Padaido.
"Saat itu kami masih di zaman kegelapan," kata Yunus tertawa menceritakan masa mudanya. Sasisen sempat hilang untuk melindungi lautan. Yang tersisa tinggal sasisen untuk di darat, yakni larangan untuk mengambil hasil perkebunan yang telah ditetapkan untuk di-sasi--begitu mereka biasa melafalkannya.
Baru sekitar 2003, aturan adat berisi sasisen kembali diberlakukan di lautan Meosmangguandi dengan dukungan gereja. "Lewat gereja kami ingin warga patuh bahwa melindungi laut adalah perintah Tuhan," kata Yunus yang juga bekas kepala jemaat Gereja Imanuel Meosmangguandi.
Hasilnya kini mulai tampak. Ketika tiba pertama kali, gugusan karang besar menyambut kami di dasar laut tanjung utara Meosmangguandi. Karang tepi beraneka bentuk dan warna juga dapat ditemui di sekeliling pulau, terutama di dekat Pulau Kebori dan Rasi, dua pulau yang masih masuk dalam wilayah Meosmangguandi.
Ikan juga mudah diperoleh di sini. "Meosmangguandi adalah harapan terakhir untuk Padaido yang dahulu dikenal kaya karang dan ikan," kata Setnaf Rumbiak, nelayan lokal dan aktivis lokal konservasi laut yang saban hari tinggal untuk menangkap ikan di Pulau Dauwi, seberang timur Meosmangguandi.
AGOENG WIJAYA