Pemasok Gori Terbatas, Pedagang Gudeg Desak Ada Sentra Kebun Nangka
Editor
Grace gandhi
Minggu, 18 Oktober 2015 04:34 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Paguyuban Pedagang Gudeg di Kota Yogyakarta mendesak pemerintah daerah mengembangkan sentra-sentra kebun nangka di wilayah DIY guna menjamin pasokan gori (nangka muda) yang menjadi bahan baku utama makanan gudeg.
"Selama ini pasokan gori banyak mengandalkan dari Prembun, Jawa Tengah. Dari Yogya masih belum memadai jumlah pasokannya," ujar Eni Hartono, pemilik Warung Gudeg Yu Djum, di sentra gudeg kampung Wijilan Kota Yogyakarta, Sabtu, 17 Oktober 2015.
Putri ragil dari pendiri gudeg Yu Djum itu menuturkan, sering kulakan gori dari Prembun yang dipasok pengepul ke Pasar Beringharjo karena karakteristik gorinya memang sesuai dengan jenis gudeg yang khas di jual di Yogya, yakni gudeg kering.
"Gori Prembun kalau dimasak lama, bisa sampai kering hasilnya. Itu yang jadi ciri gudeg Yogya," ujarnya. Gudeg Yogya dibuat kering dengan tujuan lebih awet dan tahan lama karena sering menjadi oleh-oleh.
Namun, ketika gori dari Prembun ini seret pasokannya, padahal tingkat kunjungan wisata sedang tinggi, pedagang harus mengandalkan pasokan dari daerah lain yang kadang tak sesuai karakternya dengan jenis gudeg yang ingin dijual. Misalnya gori dari Sumatera.
"Kalau gori Sumatera ini agak susah diolah karena jika dimasak lama malah jadi seperti jenang, bukan kering," ujarnya.
Padahal, saat musim kunjungan wisata seperti libur Lebaran atau tahun baru, dalam sehari Gudeg Yu Djum ini bisa melayani 1.000 porsi gudeg. Dengan kebutuhan gori sekitar satu kuintal per hari.
"Sekarang pasokan gori Prembun di pasar masih stabil, tapi siapa yang tahu nanti bisa seret," ujar Eni.
Eni pun berharap di daerah Kabupaten DIY yang memiliki lahan luas bisa diajak kerja sama pemerintah mengembangkan sentra kebun nangka itu lebih banyak guna menjamin ketersediaan stok.
"Bagaimana pun juga gudeg sudah jadi kuliner yang selalu diburu wisatawan," ujar Eni.
Di Wijilan sendiri, saat ini ada warung-warung gudeg yang kebanyakan beroperasi sejak tahun 1960-an dan kini sudah berkembang cabangnya di sejumlah sudut kota hingga mal-mal.
Danik, penerus gudeg Bu Slamet di kampung Wijilan mengaku jika pasokan gori masih menggantungkan dari wilayah luar DIY, terutama Jawa Tengah.
"Tapi selama ini tak ada masalah soal pasokan, harganya juga relatif stabil dan terjangkau, tak naik turun," ujar Danik. Harga gori berkisar Rp 5.000-6.000 per kilogram.
PRIBADI WICAKSONO