TEMPO.CO, Denpasar - Pengembangan desa wisata di Bali sebagai daya tarik pariwisata masih terkendala masalah pemasaran.
"Pemasaran memang masih menjadi masalah bagi kami," kata Chairman Bali Community Based Tourism Association (Bali CoBTA), Djinaldi Gosana Rabu 29 Mei 2013. Bali CoBTA adalah salah satu lembaga non profit yang mengembangkan desa wisata di Bali.
Saat ini, sudah ada 7 desa wisata yang dikembangkan Bali CoBTA, yakni Penglipuran (Kabupaten Bangli), Jasri (Kabupaten Karangasem), Budakeling (Kabupaten Karangasem), Bedulu (Kabupaten Gianyar), Blimbingsari (Kabupaten Jembrana), Pancasari (Kabupaten Jembrana), dan Pinge (Kabupaten Tabanan)
Selain pemasaran, pengembangan desa wisata juga terkendala kelengkapan akomodasi dan sumber tenaga manusia (SDM).
"Seharus ada operator professional di desa-desa wisata itu untuk melayani tamu secara profesional," kata dia. Untuk itu, kata Djinaldi, perlu dilakukan pelatihan bagi warga desa yang mengelola desa wisata ini.
Bali CoBTA telah mencoba melakukan program pelatihan bagi warga oleh pelaku hotel yang ada di desa-desa wisata itu. "Kami meminta agar program CSR (Corporate Social Responsibility) hotel-hotel itu dialokasikan untuk pengembangan desa wisata," kata dia. Saat ini sudah ada dua hotel yang secara resmi yang mau melakukan pelatihan ini.
"Kadang, standar kebersihan desa wisata berbeda dengan standar kebersihan turis. Ini yang ingin kami sampaikan," kata dia.
Di Bali, ada 45 desa wisata yang dikembangkan saat ini. Angka ini mengalami peningkatan sekitar 40 persen dari tahun-tahun sebelumnya.