Banyak Restoran Ramen di Jepang Tutup Akibat Pandemi
Reporter
Terjemahan
Editor
Ninis Chairunnisa
Sabtu, 28 November 2020 11:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi telah menghantam industri kecil di Jepang, termasuk restoran ramen dengan begitu telak. Banyak restoran ramen yang gulung tikar akibat sepi pelanggan.
Yashiro Haga, 60 tahun, harus menutup toko ramen-nya, Shirohachi, setelah 15 tahun berjalan. Ia tak dapat mengatasi penurunan pemasukan akibat krisis Covid-19. "Arus orang telah berubah karena virus korona," kata Haga dilansir dari Japan Today. "Pelanggan tidak lagi masuk dan mengantri di luar toko."
Pandemi ini merusak restoran milik keluarga di Jepang, termasuk toko mie seperti Haga. Upaya besar-besaran pemerintah untuk mencegah kebangkrutan berhasil di sektor ekonomi lain, tapi tidak di sektor ini.
Terluka oleh tekanan deflasi dan meningkatnya persaingan menjelang Olimpiade Tokyo yang sekarang tertunda, restoran ramen sangat rentan terhadap kelesuan ekonomi yang dipicu oleh pandemi di sektor jasa. Bisnis kecil dan menengah seperti Haga mempekerjakan sekitar 70 persen pekerja Jepang dan menyumbang 99,7 persen dari total jumlah perusahaan, menurut data pemerintah. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa Covid-19 dapat memicu peningkatan jumlah PHK di antara perusahaan kecil.
Tetapi orang dalam industri berharap itu hanya puncak gunung es karena toko-toko lokal sering tutup tanpa pengajuan resmi. "Banyak toko ramen tidak akan muncul dalam angka apa pun ketika mereka tutup karena mereka kecil, bisnis milik pribadi," kata Haga.
Hiroaki Nakazawa, seorang apoteker berusia 42 tahun yang telah mengunjungi Shirohachi selama sekitar satu dekade, mengatakan dia merasa sedih dengan penutupannya. "Hanya ada satu tempat seperti ini," ujarnya.
Setidaknya tujuh kedai ramen lainnya di area pusat Tokyo yang populer di kalangan turis telah tutup sejak Maret tahun ini. Secara nasional, 34 bisnis ramen dengan kewajiban setidaknya 10 juta yen (Rp 1,3 triliun) bangkrut selama sembilan bulan pertama tahun 2020, juga rekor tertinggi untuk periode tersebut, kata Teikoku Databank.
Takeshi Yamamoto, seorang kritikus ramen independen yang memantau penutupan toko mengatakan diantara toko ramen yang pertama kali tutup tahun ini adalah mereka yang bisnisnya sudah terancam sebelum Covid-19. Rata-rata mereka dijalankan oleh pemilik yang sudah tua.
Namun, kata Yamamoto, selanjutnya gelombang penutupan juga terjadi di gerai yang dikelola pemilik lebih muda. Dia memperkirakan jumlah sebenarnya dari toko ramen yang tutup secara nasional adalah sekitar 290 gerai di bulan Oktober dan November saja.
Shirohachi milik Haga sebenarnya telah menggunakan sekitar 3 juta yen (Rp 405 juta) dalam subsidi pemerintah untuk melewati masa sulit sampai penutupannya. Dia mencoba menawarkan ramennya melalui takeout tetapi tidak dapat menutupi pendapatan yang hilang setelah kunjungan pekerja kantoran turun karena kebijakan kerja dari rumah. "Bahkan di antara tempat paling populer, penjualan dari takeout tidak melebihi penurunan penjualan akibat pandemi," kata Yamamoto.
JAPAN TODAY