Bilum, Tas Tradisional dari Papua Nugini yang Sekilas Mirip Noken Papua
Reporter
Tempo.co
Editor
Rini Kustiani
Kamis, 12 November 2020 09:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Saat melancong ke Papua Nugini, wisatawan akan melihat masyarakat di sana menggunakan tas tradisional yang beberapa di antaranya berbentuk seperti noken. Noken merupakan tas tradisional Papua yang terbuat dari serat pohon. Adapun tas tradisional dari Papua Nugini bernama bilum.
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan bilum merupakan tas rajutan yang banyak digunakan oleh perempuan Papua Nugini. Setiap bilum punya warna, corak, dan bahan yang mencirikan daerah asal pembuatnya. "Bilum dari daerah dataran tinggi umumnya terbuat dari wol dan berwarna cerah," kata Hari Suroto kepada Tempo, Kamis 12 November 2020.
Adapun bilum yang dibuat masyarakat pesisir pantai berasal dari bulu binatang atau tanaman merambat, seperti alang-alang, serat kulit kayu, daun pandan, dan daun tikar. "Warnanya berasal dari pewarna nabati alami," kata Hari yang juga dosen arkeologi di Universitas Cenderawasih. Membuat bilum termasuk mata pencaharian penting bagi perempuan Papua Nugini.
Keluarga yang tidak memiliki akses ke sumber daya alam, seperti tidak bertani, tidak beternak, maupun bukan nelayan, dapat memanfaatkan keterampilan membuat bilum sebagai sumber penghasilan. Mereka kemudian keluar dari desanya kemudian menjual bilum di tempat keramaian.
Bagi perempuan Papua Nugini, bilum bukan sekadar tas untuk menampung berbagai benda saat bepergian. Bagi mereka, bilum bisa menjadi tanda cinta, kenang-kenangan dari kampung halaman, simbol kekayaan atau posisi seseorang di masyarakat tergantung dari motif, warna, dan bentuknya.
Beberapa bilum memiliki pola geometris yang mengidentifikasi pemiliknya sebagai anggota suku atau marga tertentu. Pemilik bilum dengan corak yang kompleks dengan bangga memamerkan tas mereka di acara-acara publik, seperti festival atau upacara pembayaran maskawin. Para ibu di Papua Nugini menggunakan bilum sebagai tempat tidur bayi yang digantung di pohon.
Bilum juga bisa dipakai untuk membawa barang-barang yang cukup berat dan tali selempangnya dilingkarkan pada dahi. Perempuan yang menggunakan bilum dengan mengaitkannya pada dahi berarti sudah menikah. "Wanita menempatkan tali bilum di sekitar dahi untuk memaksimalkan kekuatan dan keseimbangan yang lebih baik saat membawa beban yang berat," kata Hari.
Saat ini bentuk bilum kian bervariasi. Mulai yang besar untuk menempatkan bayi dan membawa barang yang berat, hingga model yang imut-imut seperti saku guna menempatkan ponsel. Butuh waktu lebih dari dua pekan untuk merajut sebuah bilum. Tas bilum dibuat dengan tangan menggunakan teknik jaring tanpa simpul.
Wisatawan umumnya membeli bilum sebagai oleh-oleh. Tas bilum dipasarkan hingga ke Australia dan New Zealand, termasuk promosi lewat daring. Pemerintah Papua Nugini gencar membuat program unggulan berkaitan dengan tas bilum untuk mengentaskan kemiskinan. Caranya dengan mengadakan pelatihan bagi perajin bilum bekerja sama dengan perancang busana, hingga membuka pasar ke luar negeri.
Seorang seniman dan desainer dari Papua Nugini, Florence Jaukae Kamel mengkreasikan penggunaan bilum sebagai bahan untuk membuat pakaian. Dia membuat bilum lebih dari sekadar tas belanja ramah lingkungan dan gendongan anak.