Festival Makan Papeda Ditunda Karena Covid-19, Ini Janji Penyelenggara
Reporter
Non Koresponden
Editor
Ludhy Cahyana
Rabu, 2 September 2020 13:38 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Makan papeda dengan wadah gerabah merupakan tradisi suku-suku di Papua, yang hidup di sekitar Danau Sentani. Bahkan, tradisi ini sudah berusia ribuan tahun lamanya. Untuk melestarikan tradisi makan papeda, saban tahun dihelat Festival Makan Papeda dalam Gerabah.
Menurut Naftali Felle, ketua kelompok pengrajin gerabah tradisional Titian Hidup Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Papua, Festival Makan Papeda dalam Gerabah atau Festival Helay Mbay Hote Mbay, yang rencananya akan dilaksanakan tanggal 30 September ini, ditunda tahun depan. Penyelenggara melihat Covid-19 di Indonesia maupun global belum menurun.
Helay Mbay Hote Mbay merupakan bahasa Sentani. Helay artinya gerabah, sementara hote berarti wadah untuk menyajikan hidangan ikan. Jadi arti keseluruhannya yaitu makan papeda dalam gerabah. Papeda adalah makanan tradisional Sentani berbahan pati sagu, bentuk papeda sepintas seperti bubur. Dalam proses pembuatannya, pati sagu yang sudah disiapkan di wadah gerabah disiram dengan air panas. Lalu diaduk sehingga berbentuk adonan yang siap dimakan.
Festival makan papeda dalam gerabah sebenarnya merupakan agenda tahunan, yang selalu diselenggarakan tiap tanggal 30 September. Namun akhirnya panitia memutuskan untuk menundanya tahun depan.
Naftali yang juga ketua panitia festival mengatakan panitia mengikuti imbauan dari pemerintah Kabupaten Jayapura, untuk menunda kegiatan publik yang melibatkan banyak orang. Serta menghindari kerumunan selama pandemi Covid-19 ini. Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengintruksikan untuk membatasi aktivitas masyarakat guna mencegah klaster baru penyebaran covid-19.
"Berdasarkan pengalaman festival tahun lalu, wisatawan dan pengunjung banyak sekali yang hadir, sehingga pada masa pandemi covid-19 ini tidak mungkin kami batasi jumlahnya untuk festival tahun ini. Jadi kami panitia sepakat tahun ini tidak ada festival dan akan menyelenggarakannya pada 30 September 2021," ujar Naftali.
Walaupun festival makan papeda dalam gerabah ditiadakan, tapi panitia akan mempersiapkan festival ini lebih baik lagi untuk tahun depan, "Jadi kami mempunyai banyak waktu untuk mempersiapkan festival ini dengan baik," imbuhnya.
Festival makan papeda dalam gerabah ini sudah tiga kali dilaksanakan, tahun 2020 adalah festival keempat, "Makan papeda dalam gerabah adalah budaya Sentani, maka untuk 30 September ini sebagai bentuk pelestarian budaya warisan nenek moyang," ujarnya.
Sebagai gantinya, warga di kampung Abar, pada 30 September nanti, selama satu hari peuh menyajikan papeda dalam gerabah. Tetapi hanya untuk dikonsumsi oleh keluarga masing-masing, "Walaupun ada pandemi Covid-19, kami para pengrajin tetap memproduksi gerabah, kami membuat gerabah di rumah masing-masing, sehingga tidak ada kerumunan," ujarnya.
Sementara itu arkeolog Hari Suroto mengatakan gerabah, papeda dan sagu sudah menjadi identitas masyarakat Abar Sentani. Penelitian arkeologi membuktikan bahwa budaya penggunaan gerabah di kawasan Danau Sentani, sudah ada sejak masa prasejarah atau 3.000 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan temuan pecahan gerabah di situs-situs prasejarah di kawasan Danau Sentani.
Pecahan gerabah ini ditemukan di permukaan tanah, di dalam tanah maupun di dasar danau. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan budaya mengolah sagu menjadi papeda dalam wadah gerabah di Sentani sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.