Tak Banyak Turis Tahu, Ini Spot Raja Ampat yang Memukau Dunia

Minggu, 28 Juni 2020 12:52 WIB

Pulau Rufas di Raja Ampat, Papua. TEMPO/Nur Alfiyah

TEMPO.CO, Jakarta - Raja Ampat, kabupaten kepulauan itu, bukan hanya memukau wisatawan dunia pada abad 21. Ketika Instagram, Facebook, dan Youtube memompa popularitas wisata baharinya, Raja Ampat diam-diam mencuri perhatian para peminat wisata sejarah.

Sepotong surga itu, menjadi salah satu bagian pembentuk peradaban, yang membentang dari Papua hingga Australia dan Selandia Baru, “Raja Ampat merupakan titik awal yang diklaim Belanda sebagai teritorialnya, sebelum diklaim bangsa Eropa lainnya,” ulas arkeolog Hari Suroto dalam emailnya.

Menurutnya, kebanyakan artikel-artikel ilmiah menuliskan bahwa kata ‘Papua’ berasal dari bahasa Melayu Lama sebagai ‘papuwah’ artinya ‘rambut keriting’. Bahkan, dalam arsip Portugis dan Spanyol kata ‘Papua’ merupakan sebutan untuk penduduk yang mendiami wilayah Kepulauan Raja Ampat dan bagian pesisir Kepala Burung.

Baca: Menelisik Pengaruh Kesultan Ternate-Tidore di Raja Ampat

Papua, menurut Hari berakar pada istilah ‘sup-i-papwah’ dalam bahasa Biak yang berarti ‘tanah di bawah matahari terbenam’. Pada waktu itu, penduduk Pulau Biak saat cuaca cerah dapat melihat sebuah pulau besar yang terletak di sebelah barat: “Pulau di bawah matahari terbenam.”

Advertising
Advertising

Pulau besar berjuluk Nugini atau New Guinea di Samudera Pasifik ini, membentang antara Papua dan Papua Nugini. Bagian barat New Guinea termasuk dalam wilayah Indonesia, Provinsi Papua saat ini. Sedang bagian timur adalah wilayah Papua Nugini. Lalu bagaimana keduanya kemudian berpisah?

Seorang wisatawan memotret lukisan purba, di tebing kars Sunmalelen, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, 25 April 2015. lukisan bergambar telapak tangan dan sejumlah biota laut, tersebut diperkirakan digambar menggunakan ochre (pigmen dari tanah liat) dan telah berusia ribuan tahun. TEMPO/Hariandi Hafid

Nama New Guinea diberikan oleh pelaut Spanyol bernama Ynigo Ortiz de Retes pada 1545. Dia memberikan nama wilayah itu New Guinea. Pasalnya, ia melihat orang-orang di sana mirip dengan orang Afrika di pantai Guinea.

Lalu 300 tahun kemudian, pada 1884, pemerintah kolonial Inggris di Port Moresby, memproklamasikan bahwa wilayah bagian tenggara Nugini menjadi wilayah kekuasaanya. Tahun yang sama pula, bendera Jerman dikibarkan di timur laut Nugini. Inggris dan Jerman berada di Papua Nugini, segera menyadarkan Belanda sebagai penguasa Hindia Belanda.

Belanda bergegas mengklaim wilayah mulai Raja Ampat hingga 141 derajat di bagian timur (garis yang membentang antara timur Kota Jayapura hingga ke Merauke) menjadi wilayah kekuasaannya.

Garis batas antara Papua dengan Papua Nugini disahkan pada 16 Mei 1895 di s’Gravenhage Belanda. Perbatasan yang memisahkan daerah Papua dengan Papua Nugini, dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1895, No. 220 dan 221.

Klaim Belanda ini akhirnya diakui oleh Inggris pada 1895, diikuti oleh pengakuan Jerman pada tahun 1910. Garis batas internasional ini masih berlaku hingga saat ini, yang memisahkan negara Papua Nugini dan Provinsi Papua, Indonesia.

Mereka yang Mula-Mula Membangun Peradaban Papua

Dinukil dari buku Prasejarah Papua, yang ditulis Hari Suroto, manusia purba berdatangan ke Nugini, pada era Pleistosen, kira-kira 28.000 tahun-18.000 tahun lalu. Kala itu Nugini masih menyatu dengan Australia, yang disebut Sahulland atau Paparan Sahul.

Lukisan bergambar telapak tangan dan sejumlah biota laut, diperkirakan digambar menggunakan ochre (pigmen dari tanah liat) dan telah berusia ribuan tahun. Raja Ampat, Papua Barat, 25 April 2015. TEMPO/Hariandi Hafid

Itulah yang menyebabkan temuan-temuan fosil di tiga negara itu memiliki kemiripan, bahkan flora dan faunanya memiliki kemiripan. Para pelaut purba yang berkeliling dari Afrika hingga Eropa, lalu ke Asia Tenggara itu, akhirnya diduga mendarat pertama kali di Raja Ampat.

Dugaan itu muncul setelah para ahli arkeologi membuat pemodelan komputer yang memungkinkan beberapa peneliti untuk berhipotesis bahwa Kepulauan Raja Ampat mewakili lokasi pendaratan yang paling mungkin, bagi para pelaut Zaman Batu ketika mereka tiba di Paparan Sahul untuk pertama kalinya.

Hal itu diutarakan oleh Dylan Gaffney mahasiswa arkeologi University of Cambridge, Inggris, yang meneliti kehidupan prasejarah di Raja Ampat, “Simulasi komputer lain menunjukkan bahwa kolonisasi ini disengaja dan melibatkan ratusan orang yang merencanakan perjalanan mereka, dan dengan sengaja mengarahkan perahu atau rakit kecil dari pulau-pulau Asia Tenggara untuk mencapai Paparan Sahul,” ulas Gaffney dalam tulisannya.

Menurutnya bila saat ini, ada delapan bahasa di Raja Ampat, yang digunakan oleh sekitar 50.000 warga, semuanya merupakan rumpun bahasa Austronesia. Mereka saat berdatangan diduga pula membawa tradisi tradisi pembuatan gerabah dan bahasa Austronesia yang secara eksklusif digunakan di pulau-pulau saat ini.

Dan Keturunan pemukim ini kemudian pergi ke pulau-pulau di Samudra Pasifik yang terpencil untuk pertama kalinya setelah 3.000 tahun yang lalu. Mereka menyebar dengan melayari Samudera Pasifik hingga Rapa Nui (Pulau Paskah), Hawai'i, dan Aotearoa – yang sekarang disebut sebagai Selandia Baru.

Gaffney membuat penilitian arkeologi di Raja Ampat, dan melakukan penggalian di Waigeo dan Gam, pulau terbesar di Kepulauan Raja Ampat. Pada tahun 2018 dan 2019, dengan bantuan pemandu lokal, nelayan, dan pemburu, para arkeolog dapat menemukan dan mencatat lebih dari 150 situs arkeologi yang sebelumnya tidak dikenal.

Temuan ini termasuk lukisan batu, desa-desa bersejarah dari masa kolonial Belanda, gua dan tempat pemakaman, peninggalan Perang Dunia II, persebaran gerabah kuno dan alat-alat batu, tempat-tempat yang berkaitan dengan tradisi lisan lokal dan mitos, situs gua dan ceruk besar, dan sampah kerang yang dapat menunjukkan lokasi desa-desa awal.

Ketika tim bersiap-siap untuk penggalian, fokus mereka beralih ke gua-gua batu kapur yang sangat besar yang terletak di dalam hutan hujan, sering kali di atas permukaan tebing setinggi 30 meter, dan sekarang menjadi rumah bagi koloni ratusan kelelawar atau kalong.

Dylan Gaffney mahasiswa arkeologi University of Cambridge, Inggris, yang meneliti kehidupan prasejarah di Raja Ampat. Dok. Dylan Gaffney/Hari Suroto

Situs-situs ini dianggap mengandung jejak pemukiman paling awal di kepulauan itu, ketika para pemburu-peramu menggunakannya sebagai tempat perlindungan sementara. "Keindahan" yang tersembunyi ini, membuat para arkeolog bekerja bersama anggota masyarakat setempat untuk menggali tiga gua di sekitar Waigeo dan Kepulauan Gam.

Catatan redasi: tulisan ini diramu dari email arkeolog Hari Suroto dan Dylan Gaffney.

Berita terkait

Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

1 hari lalu

Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

Polisi menangkap perempuan berinisial SJ alias Ceria, 43 tahun, karena menjual narkotika jenis sabu.

Baca Selengkapnya

Boyamin Saiman Sambangi KPK Minta Bantuan Mutasi PNS ke Nurul Ghufron

2 hari lalu

Boyamin Saiman Sambangi KPK Minta Bantuan Mutasi PNS ke Nurul Ghufron

Boyamin Saiman menyambangi KPK hari ini untuk menyampaikan surat permohonan bantuan kepada Nurul Ghufron. Satire minta dibantu mutasi PNS.

Baca Selengkapnya

Jusuf Kalla Sebut Akar Konflik di Papua karena Salah Paham

3 hari lalu

Jusuf Kalla Sebut Akar Konflik di Papua karena Salah Paham

Menurut Jusuf Kalla, pandangan masyarakat Papua seakan-akan Indonesia merampok Papua, mengambil kekayaan alamnya.

Baca Selengkapnya

Lebih dari Setahun Pilot Susi Air Disandera TPNPB-OPM, Aparat Sebut Ada Kendala di Lapangan

6 hari lalu

Lebih dari Setahun Pilot Susi Air Disandera TPNPB-OPM, Aparat Sebut Ada Kendala di Lapangan

Pemerintah masih terus mengupayakan pembebasan Pilot Susi Air, Philips Mark Mehrtens. Belum ada perkembangan signifikan.

Baca Selengkapnya

TNI Pastikan Tak Ada Perubahan Pendekatan di Papua usai Rakor dengan Menko Polhukam

8 hari lalu

TNI Pastikan Tak Ada Perubahan Pendekatan di Papua usai Rakor dengan Menko Polhukam

Kemenko Polhukam sebelumnya menggelar rapat koordinasi untuk membahas situasi terkini di Papua yang juga dihadiri oleh Panglima TNI.

Baca Selengkapnya

Kemenko Polhukam Bakal Kaji Istilah Kelompok Bersenjata di Papua

8 hari lalu

Kemenko Polhukam Bakal Kaji Istilah Kelompok Bersenjata di Papua

Kemenko Polhukam belum bisa memastikan apakah penyebutan OPM seperti yang dilakukan TNI akan dijadikan keputusan negara.

Baca Selengkapnya

Menko Polhukam Rapat Koordinasi dengan Panglima TNI hingga Kapolri soal Situasi Papua, Ini yang Dibahas

8 hari lalu

Menko Polhukam Rapat Koordinasi dengan Panglima TNI hingga Kapolri soal Situasi Papua, Ini yang Dibahas

Pertemuan itu dilakukan untuk membahas berbagai situasi terakhir di Papua.

Baca Selengkapnya

Koops Habema Tembak 2 Anggota TPNPB yang Serang Pos TNI di Nduga Papua

8 hari lalu

Koops Habema Tembak 2 Anggota TPNPB yang Serang Pos TNI di Nduga Papua

Koops Habema TNI menembak dua anggota TPNPB di Papua Pegunungan

Baca Selengkapnya

Polda Papua Belum Tangkap Pembunuh Bripda Oktovianus Buara, TPNPB Klaim Bertanggung Jawab

8 hari lalu

Polda Papua Belum Tangkap Pembunuh Bripda Oktovianus Buara, TPNPB Klaim Bertanggung Jawab

Polda Papua belum mampu menangkap pelaku pembunuhan terhadap Brigadir Dua Oktovianus Buara.

Baca Selengkapnya

Bertemu Panglima TNI, Ketua Komnas HAM Sebut Tak Khusus Bahas Soal Papua

9 hari lalu

Bertemu Panglima TNI, Ketua Komnas HAM Sebut Tak Khusus Bahas Soal Papua

Pertemuan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Komnas HAM tidak secara khusus membahas konflik di Papua dan upaya penyelesaiannya.

Baca Selengkapnya