Terpikat Eksotisnya Kerbau Rawa Sumatera

Selasa, 24 September 2019 14:01 WIB

Kerbau rawa mencari makan di Tanjung Senang, Ogan Ilir. Kerbau ini diternak untuk daging dan susunya. TEMPO/Parliza Hendrawan

TEMPO.CO, Palembang - Pampangan merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) di Sumatera Selatan. Jaraknya sekitar 85 km dari kota Palembang atau berkisar 50 km dari kota Kayu Agung yang merupakan ibu kota kabupaten OKI.

Daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan dan beras dari sawah rawa dan lebak. Selain itu, sejak dulu kala, Pampangan dikenal sebagai sentra pengembangbiakkan kerbau rawa. Itulah yang membuat saya tertarik melihat dari dekat ekosistem kerbau rawa Pampangan.

Senin, 12 Agutus yang baru lalu, setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tiga jam dari kota Palembang, saya dapat merasakan bermalam di sebuah pondok yang letaknya hanya selemparan batu dari kandang kerbau milik warga desa Bangsal. Udaranya masih segar dan aliran sungai masih cukup untuk membawa para nelayan hilir mudik. Bentang alamnya begitu menggoda bagi siapapun yang hobi traveling.

Asyiknya lagi, tengah malam, saya sempat dibangunkan oleh lenguhan hewan bernama latin Bubalus bubalis carabanesis itu. Dan tidur kembali dengan pulas berkat angin sepoi-sepoi yang menembus celah lantai kayu pondok milik pak Kades. Terbangun lagi menjelang subuh disambut udara dingin pedesaan. Pesona ini rasanya rugi bila pelit untuk dibagikan.

Naik Ketek Menembus Kabut

Hari masih begitu pagi, ketika terbangun untuk bersiap-siap berpetualang mengelilingi sungai dan rawa-rawa di desa Bangsal, kecamatan Pampangan. Jarak pandang masih sangat terbatas manakala harus menjepret landscape desa yang dikelilingi air sehingga kamera kembali disarungkan agar lensa tetap aman dari semburan air dan embun.

Pagi itu kabut masih menyelimuti desa yang dihuni tidak kurang dari 868 warga itu. Menjelang pukul 06.00, Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal mendatangi pondok tempat saya bermalam. Sesuai janjinya, ia akan menuntun saya dan seorang kerabat untuk berpetualang ke kandang kerbau milik beberapa warganya di sebelah selatan Bangsal.

Bila memungkinkan, perjalanan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30-40 menit. Medannya agak berat karena terdiri atas rawa basah, yang di sekitarnya juga tumbuh hamparan rumput. Salah-salah kaki bisa terperosok di antara sisa-sisa jejak kerbau sedalam paha pria dewasa.

Puluhan kerbau rawa lalu lalang di rawa Desa Rambutan. Setiap warga di desa ini pun hampir semuanya memiliki peliharaan kerbau rawa, total kerbau rawa di desa ini mencapai ribuan ekor. TEMPO/Ahmad Supard

Setengah tergesa-tergesa karena khawatir kehilangan momen, saya berharap bisa menemukan segala sesuatu terkait dengan ekosistem kerbau rawa. Perjalanan itu bisa lebih cepat dengan menumpang perahu kayu atau dalam bahasa setempat disebut sebagai ketek milik warga. Pagi itu banyak keberuntungan, sayup-sayup terdengar tek..tek..tek.. suara khas perahu kayu bermesin 6,5 pk itu.

Belakangan saya tahu ketek itu milik Uju Muhammad. Hasan pun menghentikannya dan menitipkan kami untuk bepergian ke kandang para peternak. Benar-benar beruntung, tenyata Muhammad, 60 tahun, merupakan salah satu pemilik kandang Kerbau Rawa.

Tanpa basa-basi lagi, kami memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud dan tujuan bertandang ke desa yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Kayu Agung. Ia pun menganggukan kepalanya manakala diminta untuk mengajari cara memerah susu kerbau. Sembari membuang air yang masuk kedalam lambung keteknya. Uju, sapaan akrabnya bercerita banyak perihal ekosistem Kerbau Rawa. Katanya, susu dalam bahasa setempat disebut sebagai puan selanjutnya dimasak menjadi cemilan yang mantap di lidah. Makin penasaran kan..

Ambil Puan di Kandang

Sekitar 20 menit kemudian, ketek menepi di bibir sungai yang jaraknya sekitar 150 meter dari kandang. Lenguhan dan aroma khas kerbau, menyambut kedatangan kami pagi itu. Kabut embun sudah mulai menipis sehingga merahnya tanah dan hitamnya air rawa, serta hijaunya rerumputan tampak mudah diamati. Saya bergumam, inilah salah satu destinasi wisata yang meneduhkan jiwa.

Bahkan saya membayangkan sedang berada di salah satu hamparan padang savana di Afrika. Sebagaimana yang sering di tonton dilayar-layar TV dan bioskop, akan muncul adegan para petualang yang bertaruh nyawa menyelamatkan hewan dan binatang di sana.

“Ada 11 kandang di sini,” kata Uju Muhammad sembari membuka gembok kandangnya. Uju Muhammad memiliki hampir 60 ekor kerbau, yang ia taruh di dua kandang di bagian selatan desa Bangsal. Dengan lincah ia memamerkan kepiawaianya memerah susu yang sebelumnya sudah dihisap oleh bayi kerbau yang belum genap berumur 8 bulan.

Kuliner ini mirip dengan gulo puan, hanya ditambahi telor. Bahan baku utamanya juga susu segar kerbau rawa. TEMPO/Parliza Hendrawan

<!--more-->Sekitar lima menit kemudian, giliran kerbau anakan lainnya yang menghisap puting betina berumur lebih dari 15 tahun. Hasil perahannya sekitar 4 liter puan segar, ia tampung di dalam ember plastik.

Setelah itu mereka pun dikeluarkan dari kandang untuk menuju rawa. Suara gaduh dan riuh menyertai kepergian mereka ke hamparan rumput. Dan uniknya lagi, seekor betina dewasa berlari meninggalkan kandang sembari menyusui anaknya.

Di rawa, para kerbau seharian menghabiskan waktunya dengan berenang, berlarian, hingga memakan rumput sembari menyelami air rawa. Tugas Uju belum selesai, ia masih harus membersihkan kandang dari kotoran dan melakukan sedikit perbaikkan bila ada yang kurang beres dengan kandang yang ia rintis sejah awal tahun 1980-an itu.

Pagi itu, matahari makin berani menampakkan sinarnya. Uju dan sebagaimana peternak lainnya kembali ke rumah untuk sarapan, istirahat dan melakukan aktifitas produktif lainnya termasuk memasak susu. Lagi-lagi, tugasnya belum selesai karena sore hari harus kembali ke kandang untuk menyambut kepulangan hewan yang konon berasal dari India itu.

Menjelang sore selepas salat Ashar, peternak menghidupkan api untuk menghangatkan tubuh kerbau setelah seharian beremdan di air. Perapian difungsikan juga untuk mengusir nyamuk dan binatang yang menempel pada kulit hitam gelap mereka.

Landscape bak Padang Savana Afrika

Selesai mengintip proses pemerahan susu kerbau, saya bersama dengan salah seorang kerabat melajutkan petualangan kecil ini, dengan mengelingi sungai dan rawa-rawa yang ada di sekitar desa Bangsal. Desa ini berbatasan dengan desa Kuro sebelah barat, di utara desa Manggaris serta ke arah timur dan selatan ke arah desa Pulau Betung. Sepanjang mata memandang, penglihatan ini dimanjakan oleh hamparan “padang savana” yang terdiri atas rawa kering, rawa berumput maupun rawa yang masih dipenuhi air.

Dari atas perahu ketek, pisau lensa berhasil menangkap aktivitas pagi warga desa seperti mandi, mencuci di sungai yang ujungnya bisa membawa siapapun hingga ke kota Palembang. Mereka beraktivitas itu di antara jejeran keramba ikan yang terbuat dari bambu. Bahkan tidak jarang perahu yang ditumpangi berpapasan dengan perahu lainnya, yang sedang mengangkut barang dagangan untuk menuju pasar kecamatan di Pampangan.

Gulo puan atau gula susu, merupakan hasil olahan susu segar kerbau rawa. Inilah makanan para raja Palembang dari Desa Bangsal, Ogan Komering Ilir. TEMPO/Parliza Hendrawan

Sementara di bibir sungai yang mengarah ke jalan desa, terdapat ratusan rumah-rumah kayu maupun semi permanen yang berbaris rapi membelakangi saya yang ada di atas ketek. Tiang-tiang rumah tertanam di rawa. Hanya tangga kayu yang menjadi penghubung rumah dan sungai. Pesona ini kian menambah keelokan desa yang di dalamnya terdapat juga Pondok Pesanteren Ibnul Fallaah serta sebuah sekolah dasar negeri.

Rutenya dan Tarif

Untuk menuju ke desa Bangsal tidak terlalu sulit baik itu dari arah Kayu Agung maupun kota Palembang. Dengan ongkos Bus Rp25.000-30.000, pelancong dapat tiba di tujuan dengan selamat. Setidaknya ada tiga pilihan jalan darat yang bisa ditempuh bila anda dari Palembang.

Rute pertama dimulai dari Jakabaring dengan melewati beberapa desa diantaranya: Sungai Pinang-Rambutan-SP Padang-Pampangan. Rute ini bisa juga dilalui meskipun sedang musim hujan karena merupakan jalan utama.

Sedangkan dua rute berikut ini hanya direkomendasikan untuk musim kemarau saja karena jalanan banyak berlubang bahkan dipenuhi lumpur. Rute tersebut dari Jakabaring, melewati desa Sungai Pinang-Rambutan-Simpang Semudim-Pulau Layang dan desa Bangsal. Alternatif ke tiga dari Jakabaring, kendaraan akan melintas di antaranya di desa Sungai Pinang-Rambutan-Tanjung Kerang-Siju-Jermun dan Pampangan.

Sementara itu Kasubbag Media dan Komunikasi Publik Setda OKI, Adi Yanto menjelaskan desa Bangsal juga bisa ditempuh dari kota Kayu Agung dengan melewati SP. Padang-Pampangan. Dengan ongkos Rp25.000 dan lama tempuh sekitar 2 jam. Ia menjamin para pelancong bisa sampai di ibu kota kecamatan. Selanjutnya dengan menumpang ojek dengan tarif sekitar Rp20.000, tamu akan diantar ke desa Bangsal. “Menginap di Kayuagung banyak pilihannya, kalau di Bangsal biasanya di homestay milik warga setempat,” kata Adi Yanto.

<!--more-->Kerbau Rawa Rambutan dan Tanjung Senai

Selain di Pampangan, keberadaan kerbau rawa banyak dijumpai di Tanjung Senai kabupaten Ogan Ilir (OI), Kecamatan dan desa Rambutan di kabupaten Banyuasin dan kecamatan Pampangan di kabupaten OKI. Jarak antar tiga daerah tersebut cukup jauh sehinga dibutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk menelusurinya.

Di hari terpisah, saya berangkat ke Tanjung Senai yang saat ini merupakan pusat perkantoran pemerintah kabupaten. Tiba di sana setelah melakukan perjalanan sekitar 1 jam dari Palembang. Tidak kalah mempesona, kerbau di sini juga hidup berkeloni sehingga dari kejauhan tampak hitam menyemut.

Hari berikutnya mampir di desa Rambutan di Banyuasin. Tiba sore sehingga pas dengan waktu kepulangan kerbau di kandang yang terletak di tengah rawa yang menyerupai sebuah pulau. Dari atas pulau tersebut sejauh mata memandang terdapat bentang alam yang begitu mempesona. Ada perpaduan warna yang pas antara tanah yang memerah, rumput yang hijau dan ada sebagian kekuning-kuningan.

Jelas juga tampak lubang-lubang kecil yang tercetak rapi oleh kaki kerbau rawa. Di sana terdapat hampir seratusan kerbau yang berendam bahkan beberapa di antaranya menyelam sembari memakan rumput bento. Menjelang maghrib, kerbau-kerbau itu beriringan masuk kandang dan langsung mengelilingi perapian.

Eksistensi Kerbau dan Rawa

Kamis lalu, Kepala Badan Restorasi Gambut atau BRG, Nazir Foead terpikat juga mencicipi gulo puan dan susu segar hasil perahan di desa Rambutan. Rasanya manis dan amisnya tak terasa, kata Nazir kepada rombongan yang menyertainya berkunjung ke Swamp Buffalo Centre dan Eduwisata di Rambutan. Di desa Bangsal, BRG juga memiliki demplot pembuatan jelly puan.

Menurutnya, gambut, rawa dan peternak serta ekosistem lain di dalamnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya BRG berkomitmen menjaga kelestarian tidak kurang dari 1,2 juta hektar lahan gambut yang sebagian di antaranya rawan terbakar. "Masyarakat harus tetap produktif dengan peternakan kerbau rawanya agar mereka tidak lagi membakar lahan," katanya.

Kepala Desa Bangsa, OKI, Muhammad Hasan menunjukkan jelly puan yang diproduksi warga kampunya. TEMPO/Parliza Hendrawan

Bukan Sekedar Susu Segar

Bepergian ke Pampangan cukup banyak oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Selain susu segar kerbau rawa serta turunannya. Tidak salah rasanya bila ikut mencicipi kemplang panggang khas Pampangan yang terdiri atas campuran ikan air tawar tepung dan lain-lain.

Olahan susu segar Kerbau Rawa tetap menjadi pilihan utama. Peternak mulai mengembangkan nilai turunan dari susu segar. Susu yang dalam bahasa setempat disebut sebagai puan sudah bisa dijadikan makanan sehat berupa jelly puan.

Menurut Muhammad Hasan, Kepala desa Bangsal, berkat bantuan Badan Restorasi Gambut, pihaknya memiliki berbagai pilihan dalam mengolah susu segar. Makanan berupa jelly puan yang dibuat oleh para santri di pondok pesanteren Ibnul Fallaah, tidak hanya sehat akan tetapi harganya masih sangat terjangkau yaitu Rp2.500 setiap satu cup kecil.

Sedangkan susu segar dijual Rp15.000/liter. Setelah dimasak menjadi gulo puan harganya menjadi Rp80 ribu/kg, Sagon Puan Rp150 ribu/kg dan Rp200/Kg untuk minyak samin.

Berita terkait

Kebijakan Satu Peta Kurangi 9 Persen Tumpang Tindih Lahan, Setara 29,5 Juta Hektare

30 hari lalu

Kebijakan Satu Peta Kurangi 9 Persen Tumpang Tindih Lahan, Setara 29,5 Juta Hektare

Kebijakan Satu Peta 2019-2023 mampu mengurangi 9 persen tumpang tindih lahan di Indonesia. Tahun ini diprediksi mengurangi 8,6 persen.

Baca Selengkapnya

Bersama Menjaga Lahan Gambut

8 Januari 2024

Bersama Menjaga Lahan Gambut

Semua desa yang wilayahnya menjadi target restorasi BRGM, difasilitasi dengan Desa Mandiri Peduli Gambut

Baca Selengkapnya

Tiga Titik Panas Kebakaran Lahan Gambut Ditemukan di Pesisir Selatan

6 Oktober 2023

Tiga Titik Panas Kebakaran Lahan Gambut Ditemukan di Pesisir Selatan

Kebakaran lahan gambut di Pesisir Selatan sudah terjadi sejak satu minggu yang lalu.

Baca Selengkapnya

5 Kebakaran Hutan Terparah di Indonesia, Paling Sering di Kalimantan

6 September 2023

5 Kebakaran Hutan Terparah di Indonesia, Paling Sering di Kalimantan

Kebakaran hutan di Indonesia menjadi salah satu bencana yang kerap melanda, terutama saat musim kemarau. Biasanya, kebakaran hutan lebih sering terjadi di daerah Kalimantan.

Baca Selengkapnya

Malaysia Minta Perusahaan Negerinya yang Beroperasi di Indonesia Tak Bakar Lahan

30 Agustus 2023

Malaysia Minta Perusahaan Negerinya yang Beroperasi di Indonesia Tak Bakar Lahan

Menteri Lingkungan Malaysia minta perusahaan perkebunan Malaysia yang beroperasi di Indonesia menghentikan pembakaran lahan.

Baca Selengkapnya

Seluas 67,98 Ha Lahan Terbakar, BPBD Palangka Raya Tingkatkan Kewaspadaan Karhutla

16 Agustus 2023

Seluas 67,98 Ha Lahan Terbakar, BPBD Palangka Raya Tingkatkan Kewaspadaan Karhutla

BPBD Kota Palangka Raya menggandeng sejumlah pihak terkait dalam upaya antisipasi dan menangani kebakaran hutan dan lahan.

Baca Selengkapnya

Asal Usul Kopi Liberika, Kopi Tahan Penyakit dari Liberia

19 Mei 2023

Asal Usul Kopi Liberika, Kopi Tahan Penyakit dari Liberia

Kopi bernama ilmiah coffea liberica var ini diketahui pertama kali tumbuh di daratan Benua Afrika. Kopi liberika berasal Liberia, Afrika Barat, yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara dan tumbuh di Indonesia serta Filipina.

Baca Selengkapnya

Perubahan Iklim di Riau, Perkumpulan Elang: Pentingnya Menekan Emisi Gas Rumah Kaca

15 April 2023

Perubahan Iklim di Riau, Perkumpulan Elang: Pentingnya Menekan Emisi Gas Rumah Kaca

Persoalan perubahan iklim kini menjadi masalah besar di Riau. Perkumpulan Elang lakukan diskusi seberapa pentingnya menekan emisi gas rumah kaca.

Baca Selengkapnya

Wisata Kerbau Rawa di Kalsel, Melihat Kerbau Berenang di Tengah Sunset

26 Maret 2023

Wisata Kerbau Rawa di Kalsel, Melihat Kerbau Berenang di Tengah Sunset

Habitat kerbau rawa di Kalsel seringkali dikunjungi oleh wisatawan.

Baca Selengkapnya

Belantara Paparkan Program Agroforestri Lahan Gambut di COP27 UNFCCC

15 November 2022

Belantara Paparkan Program Agroforestri Lahan Gambut di COP27 UNFCCC

Keberadaan lahan gambut sangat penting bagi upaya global untuk memerangi perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Baca Selengkapnya