Sensasi Blusukan di Ngayogjazz 2018 Gilangharjo, Yogyakarta
Reporter
Pito Agustin Rudiana (Kontributor)
Editor
Tulus Wijanarko
Senin, 19 November 2018 16:35 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Perhelatan tahunan, Ngayogjazz ke-12 pada 17 November 2018 telah lewat. Namun sensasi pergelaran musik jazz yang selalu digelar di dusun-dusun itu masih tertinggal.
Sensasi berburu panggung-panggung musik jazz, kuliner, berikut membaurnya warga, pengunjung, dan artis yang menikmati jazz bersama tanpa sekat ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Desa Gilangjarjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. Tempat ini tak jauh dari Pantai Samas di selatan Yogyakarta.
Sebuah desa yang dikenal dengan situs Watu Gilang, yaitu batu meteorit yang menjadi petilasan Panembahan Senopati selaku Raja Mataram pertama.
“Setiap kali hadir di Ngayogjazz, sebetulnya kepentingan saya tak selalu dengan musik. Banyak yang bisa dinikmati,” kata dosen dan penulis buku-buku antropologi Univesitas Gadjah Mada (UGM) Kris Budiman dalam konferensi pers tentang Ngayogjazz 2018 di Hotel , Kamis, 15 November 2018 lalu.
Bahkan Kris menugasi mahasiswanya datang ke acara itu untuk matakuliah visual culture studies. Mahasiswanya mengaku bingung karena disuruh datang ke festival musik. “Datang saja, jangan naif. Jangan melihat dengan mata saja, tapi dengan pancaindera,” kata Kris berpesan.
Pesannya terbukti malam Minggu lalu. Pengunjung yang memadat menjelang malam tak sekedar menonton aksi musisi jazz berbagai kelompok. Jazz yang acapkali digolongkan sebagai musik wangi karena mahal, dalam Ngayogjazz bisa dinikmati siapa saja. dari berbagai kalangan dan usia.
Bahkan jazz juga melebur dengan jenis musik dan seni lain, baik yang tradisional maupun kontemporel. Lewat Ngayogjazz, publik diajak berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.