4 Tempat Bersejarah Terkait Penetapan Hari Santri Nasional
Reporter
Antara
Editor
Tulus Wijanarko
Senin, 22 Oktober 2018 15:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober bukan hanya milik Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, melainkan terkait dengan peran penting kaum agamis yang cinta Tanah Air dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.
Hari Santri Nasional terkait dengan keluarnya Resolusi Jihad yang dimotori K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945. Resolusi yang bermula dari kegalauan Presiden Soekarno karena mendengar rencana kedatangan tentara Sekutu di Surabaya. Sebab jika pecah pertempuran, kekuatan persenjataan kedua pihak tak seimbang.
Ringkas cerita Bung Karno lalu mengirim utusan khusus ke Tebuireng menemui Rais Akbar Syuriah PBNU K.H. Hasyim Asy'ari. Tujuannya adalah meminta fatwa tentang hukum jihad membela Negara. Proses lalu bergulir, hingga muncullah resolusi jihad tersebut pada 22 Oktober 1945. Kelak tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional.
Berikut tempat-tempat penting dan bersejarah terkait munculnya resolusi jihad tersebut.
1. Pesantren Tebuireng, Jombang
Di sinilah utusan khusus Presiden Soekarno menemui Rais Akbar Syuriah PBNU K.H. Hasyim Asy'ari untuk meminta fatwa tentang hukum jihad membela negara yang bukan negara Islam, seperti Indonesia. Pascapertemuan K.H. Hasyim Asy'ari lalu meminta K.H. Wahab Chasbullah mengumpulkan ketua NU se-Jawa dan Madura.
Tidak hanya itu, K.H. Hasyim Asy'ari juga meminta sejumlah kiai utama NU untuk melakukan istikharah, di antaranya K.H. Abbas Buntet Cirebon.
2. Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Surabaya
Pada 21 Oktober 1945 terjadi pertemuan kiai dan pimpinan NU se-Jawa dan Madura di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama di Jln. Boeboetan VI/2 Soerabaja. Pertemuan ini dipimpin K.H. Hasyim Asy'ari yang dilanjutkan K.H. Wahab Chasbullah sambil mendengar hasil istikharah (shalat meminta petunjuk) para kiai.
Esoknya, lahirlah tiga rumusan yang dikenal dengan Resolusi Jihad, yakni setiap muslim wajib memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan Indonesia, pejuang yang mati dalam membela Indonesi layak dianggap syuhada, dan warga yang memihak Belanda dianggap memecah belah persatuan karena itu harus dihukum mati.
Resolusi Jihad yang ditulis dalam huruf Arab Jawa atau pegon itu disebarluaskan ke jaringan pesantren se-Jawa dan Madura. Para komandan Laskar Hizbullah-Sabilillah juga menerima resolusi itu yang dimuat dalam sejumlah media massa pergerakan.<!--more-->
3. Pertempuran Surabaya dan Jembatan Merah
Tiga hari berikutnya, yakni pada 25 Oktober 1945, 6.000 prajurit Sekutu datang ke Surabaya. Para santri pun bergerak ke Surabaya hingga situasi kota pun memanas, karena Resolusi Jihad telah memompa pertempuran tiga hari di Surabaya pada 27-29 Oktober 1945.
Tentara Inggis pun kewalahan. Mereka mendatangkan Bung Karno ke Surabaya untuk melakukan gencatan senjata pada 30 Oktober. Namun, sorenya terjadi insiden Jembatan Merah yang menewaskan "orang pertama" Sekutu, Jenderal Mallaby, sehingga gencatan senjata pun berakhir.
Hal itu mendorong tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada masyarakat Surabaya untuk menyerahkan senjata paling lambat pada 10 November. Jika ultimatum itu tidak diindahkan, Surabaya akan dibumihanguskan.
4. Jalan Kombes Duriyat, Surabaya
Ultimatum itu membuat para santri dan pemuda Surabaya dari berbagai komponen marah. Seorang pemuda bernama Bung Tomo pun sowan ke K.H. Hasyim Asy'ari untuk menyiarkan Revolusi Jihad ke seluruh masyarakat Surabaya melalui radio di persimpangan Jalan Kombes Duriyat, Surabaya (Jalan Mawar Nomor 10 Kecamatan Tegalsari, Surabaya).
Orasi Bung Tomo melalui radio rakyat itu membuat Revolusi Jihad "membakar" semangat Arek-Arek Suroboyo hingga target Sekutu untuk menguasai Surabaya dalam tiga hari tidak terbukti. Bahkan, pada hari kedua pengganti Jenderal Mallaby yang juga jenderal senior pun terbunuh. Pertempuran di Surabaya akhirnya berlangsung cukup lama, yakni tiga minggu.
Konteks sejarah itulah yang di era modern ini kemudian diakui negara dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sejak 2015. Hal itu ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015 bertepatan dengan 9 Muharram 1437 Hijriah.
ANTARA