Merayakan Kuningan dengan Tradisi Makotekan di Desa Adat di Bali

Senin, 11 Juni 2018 12:27 WIB

Perang galah dalam tradosi Makotekan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Bali. (Francisca Christy)

TEMPO.CO, Mengwi -Perayaan Kuningan bagi masyakarat adat di Bali dirayakan dengan berbagai cara. Di Desa Adat Munggu, Mengwi, misalnya, masyarakat akan meramaikan hari raya itu dengan tradisi makotekan. Tradisi ini dilaksanakan secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Baca:
Libur Akhir Tahun, Mengunjungi Tiga Kampung Adat di Flores
3 Pilihan Menginap Saat Mudik Lewat Jalur Pantai Selatan

“Kemarin, 9 Juni, masyarakat Mengwi kembali menggelar makotekan,” kata Made Arya, pemandu wisata senior yang dihubungi Tempo melalui pesan pendek pada Minggu, 10 Juni 2018.

Makotekan hanya digelar satu-satunya di Munggu sebagai pengingat perjuangan para prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Upacaranya diramaikan dengan perang galah. Perang galah itu dilakukan oleh seluruh pemuda Munggu.

Pada perayaan Kuningan sebelumnya, Tempo pernah mengikuti tradisi makotekan dari awal sampai kelar. Perayaan itu digelar selalu siang hari, selepas pukul 13.00.Penampakan galah yang ambruk saat tradisi Makotekan di Mengwi, Bali. (Tempo/Francisca Christy)

Matahari tepat di atas kepala kala rombongan Tempo sampai di Mengwi beberapa waktu lalu diantar oleh Made Arya. Tok tok tok. Kulkul (kentongan) Pura Puseh dipukul bertala-tala, mengucapkan selamat datang.

Advertising
Advertising

Para pemuda dari 13 banjar di Desa Adat Munggu berhamburan keluar dari kediaman masing-masing. Mereka mengenakan kostum upacara lengkap, mulai sarung, baju koko, hingga udeng. Satu per satu menyemut memenuhi jalan utama menuju pura di desa itu.

Made menginjak pedal rem mobilnya pelan-pelan. “Jalan ini dekat dengan persimpangan,” katanya. “Hampir setiap percabangan jalan di Desa Munggu dilalui arak-arakan ngerebek (arak-arakan Makotekan),” ujarnya. “Jadi tidak bisa parkir di sini,” katanya lagi. Ia lantas membelokkan setir ke depan rumah toko, 500 meter dari simpang empat Jalan Raya Tanah Lot dan Pantai Seseh, Mengwi.

Seusai memarkir kendaraan, Made membuka bagasi mogil, lalu mengeluarkan kamen. Kamen adalah kain yang biasa dipakai orang Bali untuk upacara adat. Kain ini harus kami pakai saat ikut perayaan Makotekan. “Caranya seperti pakai sarung. Kalau perempuan, panjangnya sampai tumit,” ucapnya. Sedangkan laki-laki, hanya sampai betis.

Selepas melilitkan kamen, Made menyodorkan senteng. Senteng adalah kain yang menyerupai syal. Senteng dipakai di bagian perut, yakni dilingkarkan, lalu diikat kuat.

Setelah berjibaku dengan kain, dari sisi berlawanan, muncul bebunyian nyaring. Klotek… klotek…. Terdengar suara kayu beradu aspal. Segerombol pemuda berjalan memegang galah setinggi 3 meter. Konon, galah itu terbuat dari kayu pulut yang khusus diambil dari hutan.Seorang pemuda Desa Munggu memanjat galah saat tradisi makotekan di Mengwi beberapa waktu yang lalu. (Tempo/Francisca Christy)

Di bagian ujung galah terdapat bendera kuning dan putih bersimbol dewa-dewa. Beberapa di antaranya menggambarkan ikon Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa.

Ada sekitar seribuan pemuda menghambur di jalan utama Desa Adat Munggu. Mereka berjalan, berbaris membentuk pleton. Perjalanan mereka diiringi bunyi ceng-ceng atau kecrak alias gamelan Bali.

Bergabung dengan barisan pemuda, tampak sejumlah pedanda atau pendeta. Mereka terlihat mengibaskan dedaunan yang dicelup ke air sebelumnya, lalu memercikkannya ke gerombolan pemuda yang membawa galah. Kata Made, pedanda itu bertugas mendoakan para prajurit perang—dalam hal ini gerombolan pemuda adat.

Mereka masuk ke pura desa untuk sembahyang sebelum beratraksi. Doa kepada para dewa dilakukan lebih-kurang 15 menit. Selesai berdoa, para pemuda, pedanda, dan pemangku adat lainnya kembali menghambur lagi ke jalan raya. Kini, tradisi makotekan itu baru benar-benar dimulai.

Makotekan akan dilakukan seperti karnaval. Seluruh pemuda desa dan pemangku adat akan berjalan keliling Munggu. Mula-mula, mereka akan berjalan dengan langkah biasa sambil bersenda gurau.

Namun setiap kali menemui tikungan atau persimpangan jalan, seribuan pemuda ini akan memecah diri secara tiba-tiba untuk membentuk kelompok. Di sinilah perang akan dimulai. Para pemuda akan mengangkat galahnya dan dipusatkan ke titik tengah. Dari kejauhan, galah itu tampak seperti kerucut raksasa.

Pemuda dari kelompok melakukan hal yang sama. Kerucut dari galah raksasa itu pun akan diadu. Pemuda saling melakukan penyerangan. Tak tek tak tek…. Irama perang kayu membahana.

Adegan makin barbar ketika seorang dari masing-masing kubu memanjat ke atas galah. Mereka seolah menjadi ujung tombak regu. “Lawan…Dorong…” begitulah teriakan itu memenuhi jalanan sepanjang desa adat. Sesekali, sarung si pemanjat tersangkut tongkat, membuat formasi goyang. Pemandangan jadi gayeng.Pendeta sedang memercikkan air suci di kepala para pemuda yang akan melakukan atraksi Makotekan. (Tempo/Francisca Christy)

Tradisi ini belum akan berakhir kalau para pemuda yang diibaratkan sebagai prajurit perang belum lelah. Kalau langit sudah kekuningan, semangat sudah kendor, satu per satu akan membubarkan diri.

Bila ditarik ke belakang, secara historis, ritual yang digelar berbarengan dengan Hari Raya Kuningan ini diadakan sebagai pengingat perang prajurit Kerajaan Mengwi menaklukkan Kerajaan Blambangan. Dulu kala, Raja Mengwi berkuasa di desa adat tersebut. Namun, tiba-tiba, wilayah itu akan direbut oleh Raja Blambangan.

Pasukan Mengwi lantas melakukan penyerangan. Untuk menghadapi musuh, Raja Mengwi diberkahi sebuah tombak dan tameng dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk menggulingkan lawannya. Setelah berhasil menang, mereka merayakan dengan cara yang unik, yakni saling serang antar-teman.

Makotekan sudah berjalan sejak 1934. Namun, ritual adat yang baru-baru ini ditetapkan sebagai warisan budaya nasional non-benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu pernah dibekukan pada 1940 oleh Belanda. Alasannya karena berpotensi memunculkan perlawanan.

Simak: 7 Desa Wisata Top untuk Mengisi Liburan

Akibatnya, pada 1946, Desa Adat Munggu dilanda bencana besar. Di antaranya tingginya angka kematian, gagal panen, dan keributan. Mereka percaya, kemalangan ini muncul lantaran tradisi mekotekan dihentikan. Setelah itu, upacara kembali digelar sampai sekarang. Tepatnya 210 hari sekali.

Berita terkait

Delegasi World Water Forum akan Diajak Wisata Melukat dan Meninjau Museum di Bali

3 jam lalu

Delegasi World Water Forum akan Diajak Wisata Melukat dan Meninjau Museum di Bali

Bali menyiapkan tiga tempat penglukatan di Bali, salah satunya Pura Tirta Empul di Tampaksiring, untuk delegasi World Water Forum.

Baca Selengkapnya

Jadi Tuan Rumah Agenda World Water Forum, Bali akan Gelar Upacara Segara Kerthi

5 jam lalu

Jadi Tuan Rumah Agenda World Water Forum, Bali akan Gelar Upacara Segara Kerthi

Segara Kerthi merupakan kearifan lokal memuliakan air di Bali, akan ditunjukkan kepada dunia, khususnya kepada delegasi WWF.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Pria Sobek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai, BTN Didemo karena Uang Nasabah Hilang

8 jam lalu

Terpopuler: Pria Sobek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai, BTN Didemo karena Uang Nasabah Hilang

Terpopuler bisnis: Pria menyobek tas Hermes di depan petugas Bea Cukai karena karena diminta bayar Rp 26 juta, BTN didemo nasabah.

Baca Selengkapnya

Kejati Bali Lakukan OTT Anggota Bendesa Adat yang Diduga Lakukan Pemerasan Investasi

19 jam lalu

Kejati Bali Lakukan OTT Anggota Bendesa Adat yang Diduga Lakukan Pemerasan Investasi

Kejati Bali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum Bendesa Adat di Bali. Bendesa itu diduga melakukan pemerasan investasi.

Baca Selengkapnya

Delegasi World Water Forum Akan Ditunjukkan Ritual Cara Bali Memuliakan Air

23 jam lalu

Delegasi World Water Forum Akan Ditunjukkan Ritual Cara Bali Memuliakan Air

Pemerintah Provinsi Bali akan mengenalkan kearifan lokal Segara Kerthi dan Tumpek Uye kepada delegasi World Water Forum ke-10

Baca Selengkapnya

Kontroversi Larangan Warung Madura Buka 24 Jam, Ini Awal Kasusnya

23 jam lalu

Kontroversi Larangan Warung Madura Buka 24 Jam, Ini Awal Kasusnya

Begini awal kasus munculnya larangan terhadap warung Madura untuk buka 24 jam.

Baca Selengkapnya

Aryaduta Bali Menciptakan Pengalaman Revitalize & Rejoice untuk Kesehatan dan Kegembiraan

2 hari lalu

Aryaduta Bali Menciptakan Pengalaman Revitalize & Rejoice untuk Kesehatan dan Kegembiraan

Acara semacam ini merefleksikan komitmen Aryaduta Bali dalam mempromosikan kesehatan dan kebahagiaan di dalam komunitas.

Baca Selengkapnya

Garuda Indonesia Buka Rute Penerbangan Manado-Bali dengan Tiket Mulai Rp 2,1 Juta

3 hari lalu

Garuda Indonesia Buka Rute Penerbangan Manado-Bali dengan Tiket Mulai Rp 2,1 Juta

Rute penerbangan Garuda Indonesia rute Manado - Bali akan dioperasikan sebanyak dua kali setiap minggunya pada Jumat dan Minggu.

Baca Selengkapnya

AIR 2024 Sukses DIgelar, Kukuhkan Pulau Peninsula Sebagai Destinasi Wisata Olahraga

4 hari lalu

AIR 2024 Sukses DIgelar, Kukuhkan Pulau Peninsula Sebagai Destinasi Wisata Olahraga

AIR 2024 mendukung kawasan Nusa Dua, khususnya Pulau Peninsula sebagai salah satu destinasi wisata olahraga menarik di Bali

Baca Selengkapnya

KemenKopUKM Pastikan Kebijakan Pemerintah Berpihak pada Pelaku UMKM

6 hari lalu

KemenKopUKM Pastikan Kebijakan Pemerintah Berpihak pada Pelaku UMKM

KemenkopUKM tidak menemukan aturan yang melarang secara spesifik warung Madura untuk beroperasi sepanjang 24 jam dalam Perda Kabupaten Klungkung

Baca Selengkapnya