TEMPO.CO, Jakarta - Perkenalkan cara makan kushiage alias kushikatsu dari Jepang. Ini merupakan hidangan berupa udang, daging sapi, cumi, atau sayuran berlapis tepung yang ditusuk bak sate. Meskipun sama-sama berasal dari Kansai--daerah di bagian selatan Jepang--gaya makan ini berbeda dengan robatayaki atau sate yakitori yang dibakar.
"Orang Indonesia kan pada dasarnya sangat senang terhadap macam-macam gorengan. Itu yang coba kami tangkap," ujar General Manager Fujio MSP Daisy Hermawan, seperti ditulis Koran Tempo Minggu, 30 Agustus 2015. Perusahaannya merupakan induk Kushiya Monogatari. "Kushiya merupakan restoran pertama yang mengusung konsep kushiage di Indonesia," ujar Daisy.
Mereka membuka gerai pertama di AEON Mall pada Mei lalu. Pusat belanja di Bumi Serpong Damai tersebut memang banyak menjual produk Jepang.
Kushiya Monogatari merupakan restoran kushiage berkonsep "lakukan sendiri". Dibuka perdana pada 1997 di Osaka, rumah makan ini ingin menjembatani sajian kushiage yang terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu sajian ala fine dining versus kaki lima.
Jika berkonsep jamuan makan resmi, pengunjung biasanya akan dilayani secara langsung oleh seorang koki. Juru masak ini menyuguhkan gorengan kushiage serta memandu klien untuk memasangkan sajian kushiage dengan saus tertentu.
Sedangkan kelompok kushiage kaki lima di Negeri Sakura biasanya banyak terdapat di stasiun kereta di negeri asal Doraemon tersebut. Tak jarang pembeli melahapnya sembari berdiri. Karena kaki lima, menu yang ditawarkan pun tak serius-serius amat.
Kushiya memilih untuk membikin konsep resto yang ramah anak muda, tapi juga dengan menu kushiage yang serius. Mereka punya lebih dari 30 jenis gorengan, dari bawang putih, cabai, hingga okonomiyaki, sejenis pancak, atau takoyaki alias bakso isi.
Tidak ada koki yang mendampingi Anda di Kushiya. Karena konsepnya “lakukan sendiri”, Andalah yang menjadi koki di resto ini. Anda dipersilakan memilih sendiri macam-macam gorengan di kushiage bar mereka.
Selanjutnya, Anda tinggal melumuri "sate-satean" tadi dengan emulsi telur dan terigu serta buliran tepung roti yang disediakan di atas masing-masing meja. Menggorengnya tidak perlu jauh-jauh. Tiap meja dilengkapi penggorengan kecil berisi minyak panas. "Kompor itu selalu berada pada suhu yang konstan, di atas 100 derajat Celsius," ujar Daisy.
Kami pun berkesempatan menjajal cara makan ala kushiage. Setelah memilih belasan tusuk sate-satean, kami mencelupkannya dengan adonan telur dan melumurinya dengan tepung roti. "Sepertinya, ini bisa juga untuk pisang goreng," kata Nancy, rekan semeja kami, bercanda.
Udang yang kami gulirkan dalam adonan dan tepung roti itu kemudian dicelupkan dalam minyak panas yang langsung mendesis. Tidak sampai lima menit, udang itu sudah bisa kami tiriskan. Untuk menikmatinya, ada beragam pilihan saus yang bisa digunakan.
Kushiage sepertinya cocok dengan lidah orang Indonesia. Seperti tempura, saudara tuanya yang sudah lama dikenal, kushiage sepertinya juga bisa laku keras dan dikenal luas. Siang itu, kami bertiga bisa menghabiskan 50 tusuk hidangan kushiage yang berbunyi kriuk-kriuk saat digigit dalam waktu satu setengah jam.
SUBKHAN J. HAKIM