TEMPO.CO , Busan:Layang-layang sudah menjadi permainan murah lintas negara. Layangan yang berukuran tak lebih dari dua puluh kali empat puluh sentimeter bisa menghibur, tak cuma bagi anak-anak, bahkan kaum muda dan orang tua. Tak hanya Indonesia, permainan ini juga marak di negara lain, satu diantaranya Busan, Korea Selatan.
Kunci permainan ini strategi pemain dan utamanya benang yang digunakan. Namanya benang gelasan. Benang yang cukup kuat untuk menarik dan mengulur layang-layang. Di Busan, benang gelasan ini bisa menerbangkan layang-layang sangat tinggi. Sampai-sampai, perlu benang gelasan seberat 3 kilogram untuk layangan yang ukurannya sebesar itu.
Layangan di Busan diberi nama Pang Pae Yon. Bentuknya hampir sama dengan layangan di Indonesia pada umumnya. Si Ajeossi atau bapak tua di Korea mengatakan gelas benangan yang tepat bisa membuat layangan menjadi stabil. "Alat yang berat ini dapat menjaga layangan tetap berada di arah yang kami mau, karena alat pengendali di bawahnya stabil," kata Kim Jong Man, 56 tahun, pemain layangan dari Busan.
Kim Jong Man bermain layangan di pinggir Pantai Haeundae Busan, Provinsi Gyeongsan, Korea Selatan, Ahad, 30 Juni 2013. Ini merupakan bagian dari Haeundae Sand Festival.
Menurut Kim, gelasan seberat itu akan mampu menahan arah layangan yang terbang dan tidak putus oleh tarikan akibat angin yang menerpa layangan pada ketinggian 100 meter. Bahkan layang-layang tetap akan stabil, meski angin cukup kencang. "Gelasan sangat cocok bila digunakan dalam kompetisi," ujar Jong Man.
Saat diadu, layangan gelasan tak mudah putus. Permukaan gelasan yang kasar membuat benang ini amat kokoh untuk adu layangan.
Layangan memang menjadi bagian tradisi bagi warga Busan. Layangan Pang Pae Yon pertama kali digunakan laksamana perang Dinasti Joseon, Yi Sun Sin. Sang laksamana menggunakannya sebagai alat komunikasi pasukan perahu yang ia pimpin. Lee Dong Jun, 33 tahun, warga Busan, mengatakan Yin Sun Sin menggunakan cara ini pada saat perang melawan Jepang di perairan Semenanjung Korea.
Layang-layang yang digunakan menampilkan 30 lambang yang harus dibaca pasukan. Jaman itu, alat komunikasi perang belum secanggih sekarang. "Ada saatnya menyerang dan saat bertahan yang dilukiskan dalam layang-layang ini," ujar Lee Dong Jun.
Ketiga puluh lambang itu kemudian diabadikan dalam layangan tradisional Korea hingga kini. Meski dalam perkembangannya layangan muncul beranek model dan ukuran. Namun hanya Pang Pae Yon yang bisa diadu.
"Layangan lain ukurannya terlalu besar, dan alat pengendali gelasannya tentu lebih besar, tidak begitu asyik untuk dimainkan dan tidak bisa diadu," kata Kim Jong Man.
CHETA NILAWATY | BUSAN, KOREA SELATAN