TEMPO.CO, Yogyakarta - Di era 1980-an, minuman ini pernah berjaya. Tapi kini tak banyak pedagang menjajakannya. Es gosrok namanya. Minuman jadul berbahan utama serutan kelapa muda bercampur tape yang tetap segar dinikmati pada siang hari.
Di Yogyakarta, satu di antara sedikit pedagang yang berjualan minuman ini adalah Sudalto. Berbekal gerobak kecil sederhana berukuran satu kali setengah meter, lelaki berusia 39 tahun itu menawarkan es osrok di Jalan D.I. Panjaitan, Kota Yogyakarta. Tempat mangkal itu berada di bawah pohon beringin tak jauh dari kantor Kecamatan Mantrijeron. "Sejak tiga bulan lalu saya jualan di sini," katanya, Kamis, 15 November 2012.
Keterampilannya membuat es gosrok diperoleh dari pamannya, yang juga membuka warung dengan menu utama es gosrok di depan Taman Makam Pahlawan, Jalan Kusuma Negara. Setahun lamanya lelaki asal Wonosari, Gunung Kidul, itu ikut berdagang dan belajar membuat es gosrok.
Untuk membuat es gosrok, Sudalto membutuhkan tiga kilogram tape ketela dan tiga butir kelapa muda. Kedua bahan itu dicampur ke dalam air santan bercampur susu yang sudah diberi remukan es. Remukan es itu didapat dengan cara menggosokkan (gosrok) balok es pada alat penyerut es batu. Lantaran proses itulah, minuman ini disebut dengan es gosrok.
Rasa es ini kecut dan gurih. Sensasi kecut itu datang dari tape dan gurihnya berasal dari serutan kelapa muda. Biasanya, untuk menambah ragam isi es, Sudalto menawarkan roti tawar pada pembeli. Roti itu disuwir dan dicelupkan ke dalam es. "Roti ini pelengkap saja," kata lelaki yang pernah membuka usaha angkringan dan berdagang bakmi serta kupat tahu keliling itu.
Dengan harga es gosrok per gelas Rp 2.000, pembeli seolah tak berhenti mampir di gerobak Sudalto. Mulai mangkal pukul 11.00, dagangannya kerap tandas dalam waktu dua jam tiap hari. Maklum, tak banyak pedagang es ini yang kini bertahan. Dari kerja itu, ia bisa mengantongi laba bersih rata-rata Rp 75 ribu per hari.
Ia mengingat, dulu ada lima orang pedagang yang menjajakan es gosrok dengan berkeliling keluar-masuk kampung. Sama dengan dirinya, mereka berasal dari Wonasari, Gunung Kidul, dan belajar membuat es dari paman mereka. Tapi kini tak seorang pun dari mereka yang bertahan. "Usia mereka sudah tua, bahkan dua di antaranya kini sudah meninggal dunia," katanya.
Mungkin saja, ia menduga, ada pedagang lain yang tersisa di Yogyakarta. Namun, ia yakin, jumlahnya tak banyak.
Unung, seorang pembeli yang mampir di gerobak Sudalto, mengatakan, tak banyak menjumpai lagi pedagang es gosrok di Kota Yogyakarta. Pengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 itu sengaja mampir sebelum pulang ke rumahnya di Sidikan untuk memesan empat bungkus es gosrok. "Saya sering ke sini, tapi kehabisan," katanya, mengeluh.
Menikmati es gosrok, menurut dia, lebih dari sekadar nostalgia masa lalu. "Memang enak dan segar," katanya. Alasan itu pula yang membuatnya tak kapok membeli es gosrok.
ANANG ZAKARIA
Terpopuler:
AirAsia Buka 2 Rute Baru dari Medan dan Surabaya
Koloni Makanan
Tenun Ikat Asal NTT Segera Dipatenkan
Jus Pare, Jajanan Jalanan Taipei
STNK Bisa untuk Tiket Masuk ke Dufan
Tip Perjalanan ke Maumere
Menyusuri Jalur Pantai Utara Flores
Main ke Kutub Utara, Tidur di Hotel Es