TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti sejarah Kota Solo Heri Priyatmoko mengatakan gaya hidup kaum priyayi Jawa-Surakarta sangat dipengaruhi oleh gaya hidup toewan kulit putih masyarakat Eropa, termasuk soal kuliner. Pada 1830, usaha perkebunan gula tebu dan kopi mulai berkembang di kota itu dan mendrongkak perekonomian.
Secara otomatis, gaya hidup mereka pun berubah. Komunitas Eropa leluasa mengembangkan budayanya di tanah koloni, termasuk urusan kuliner. Mereka yang menduduki lapisan paling atas di piramida sosial masyarakat itu punya ukuran tersendiri dalam hal kuliner atau kebiasaan makan (food habits).
"Pengaruh pabrik gula memang lebih banyak pada gaya hidup," kata Heri dalam Edisi Kuliner majalah Tempo yang terbit Senin, 1 Desember 2014.
Dari situlah muncul kelas-kelas kuliner di masyarakat. Makanan menjadi pembeda kelas sosial. Gaya hidup masyarakat kulit putih ditiru oleh bangsawan-priyayi karena mereka menempati posisi atas-menengah dalam struktur sosial masyarakat Jawa, namun tetap satu level di bawah komunitas Eropa.
Makanan favorit masyarakat Eropa yang awet hingga sekarang adalah timlo dan selat. Menu ini kerap menjadi menu wajib dalam setiap acara yang digelar masyarakat kelas atas di Solo. "Ditinjau dari segi bahannya, kedua makanan tersebut kental dengan budaya barat daripada pribumi," kata Heri.
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret Surakarta A Romdhon juga mengatakan bahwa keberadaan industri gula sedikit banyak memberikan pengaruh pada keragaman kuliner. Pengaruhnya adalah gaya hidup, bukan di urusan rasa. "Kuliner di Solo justru cenderung gurih," katanya.
Topik: #KULINER
TIM TEMPO
Berita terkait:
Makan Dilarang Jaim
Edisi Khusus Kuliner: Kisah Rasa, Cerita Bangsa
Jejak Genetik Kopi Kalosi