Festival Tangkeno dan Penebasan Leher
Jumat, 2 Oktober 2015 10:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Festival Tangkeno 2015-sebuah festival budaya-tradisi dari suku tertua di Sulawesi Tenggara. Dulu, Festival in cukup horor dan kejam. Dulu ritual adat di situ selalu menghadirkan Lumense.
Menurut Mokole XXIX Kabaena, Muhammad Ilfan Nurdin, S.H., M.Hum., Lumense tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban. Pada zaman pra-Islam, Lumense sakral dan hanya ditarikan para yo'bisa (orang yang paham alam gaib dan berilmu kanuragan). Yo'bisa secara spontan menari (vovolia) saat mendengar gendang Lumense ditabuh. Di pulau ini, miano da'Vovalia berumur panjang. Ina Wendaha, Maestro Lumense, mencapai usia 114 tahun.
Lumense adalah penebus diri para pelanggar adat (me'oli). Pelanggaran berdampak pada ketidakseimbangan kosmos, alam, manusia, dan menyebabkan bencana. Nah, ini yang menyeramkan!-maka Lumense menjadi media ritual persembahan. Para bonto menggelar Lumense yang diakhiri pemenggalan (penebasan) leher subyek persembahan, yakni seorang gadis/jejaka. Pada era Islam, subyek tarian diganti ternak, hingga Kiai Haji Daud bin Haji Abdullah Al-Kabaeny menggantinya dengan pohon pisang.
Pementasan seni malam harilah yang paling ditunggu. Warga dan sekolah se-Pulau Kabaena berpartisipasi dalam berbagai lomba selama festival: tari tradisi, permainan, hingga sastra lisan Tumburi'Ou (hikayat/dongeng). Festival tahun depan akan menambah cabang sastra lisan: Kada (epos) dan Mo'ohohi (syair). Itu tiga dari lima sastra lisan Kabaena, selain Ka'Olivi (nasihat/amanah) dan Mo'odulele (syair perkabaran).
Kabaena memang kaya tradisi yang terpelihara. Kedatuan Kabaena lampau punya banyak sejarah dan kisah unik. Selatnya digunakan sebagai rute penting pelayaran rempah Nusantara, hingga dua ekspedisi besar pernah memetakan potensinya: Ekspedisi Sunda, 1911 dan Ekspedisi Celebes, 1929. Ekspedisi yang disebut terakhir itu dipimpin Prof. H.A. Brouwer dan berhasil memperkenalkan batuan mulia (carnelian) Kabaena ke Eropa. Carnelian serta rekaman petrologi pulau ini dipresentasikan oleh C.G. Egeler di Bandung tahun 1946, dan kini tersimpan rapi di Geological Institute, University of Amsterdam.
Peradaban Kabaena punya sistem penanggalan unik yang disebut Bilangari. Almanak bermatriks lunar dengan sembilan varian ini masih digunakan sehari-hari, khususnya menentukan permulaan musim tanam, pelayaran, pernikahan, pendirian rumah, upacara adat, bahkan konon, serta menghitung waktu kelahiran dan kematian seseorang.
Pulau "kecil" ini juga berkontribusi pada sastra Indonesia. Khrisna Pabicara, novelis Sepatu Dahlan, adalah satu dari beberapa penulis Indonesia yang menghabiskan masa kecil hingga SMA di sini. Bambang Sukmawijaya, cerpenis Anita, juga dari pulau ini. Generasi Kabaena sungguh dibesarkan dalam tradisi sastra yang baik.
Ransel: Apa yang Harus Dilakukan
- Waktu kunjungan paling baik ke Kabaena pada Mei-Agustus (musim panen/Po'kotua) dan September-Desember (festival tradisi-budaya).
- Pada bulan-bulan ini, laut begitu teduh.
- Sebaiknya melalui jalur Kendari-Kasipute (via darat + 3 jam) dengan jalan darat yang mulus, dan Kasipute-Kabaena (via laut). Menggunakan jet-foil, waktu tempuh hanya 2 jam. Jet-foil beroperasi pada Selasa dan Sabtu, berangkat pagi pukul 08.00 dan siang pukul 12.00 Wita. Dari Kabaena-Kasipute, jet-foil melayani pada hari yang sama. Dari Kota Baubau, ada juga jet-foil yang melayani jalur ini (Baubau-Kabaena-Kasipute) pada Senin dan Jumat.
- Setiap orang di Kabaena bersedia membantu Anda. Jasa ojek tarifnya murah dan bisa diatur. Penyewaan kendaraan juga ada. Tarif guide tidak dipatok.
- Tidak (belum) ada hotel/motel/penginapan. Tapi setiap rumah warga bisa menjadi home-stay. Mereka tak meminta apa pun dari Anda.
- Untuk hiking, selalu gunakan guide warga lokal untuk menghindari beberapa wilayah larangan (tak boleh dimasuki). Untuk rock-climbing, persiapkan alat dengan baik. Tingkat kesulitan dan kemiringan tebing batu di Gunung Watu Sangia beragam. Formasi batuannya berupa karst muda.
TEMPO