Festival Tangkeno dan Penebasan Leher  

Jumat, 2 Oktober 2015 10:43 WIB

Sejumlah nelayan mengangkat Penyu Hijau (Chelonia mydas) dari atas perahu di Desa Bajo Indah, Kolaka, Sulawesi Tenggara, 22 Mei 2015. TEMPO/Fahmi Ali

TEMPO.CO, Jakarta - Festival Tangkeno 2015-sebuah festival budaya-tradisi dari suku tertua di Sulawesi Tenggara. Dulu, Festival in cukup horor dan kejam. Dulu ritual adat di situ selalu menghadirkan Lumense.

Menurut Mokole XXIX Kabaena, Muhammad Ilfan Nurdin, S.H., M.Hum., Lumense tumbuh dan berkembang sesuai dengan peradaban. Pada zaman pra-Islam, Lumense sakral dan hanya ditarikan para yo'bisa (orang yang paham alam gaib dan berilmu kanuragan). Yo'bisa secara spontan menari (vovolia) saat mendengar gendang Lumense ditabuh. Di pulau ini, miano da'Vovalia berumur panjang. Ina Wendaha, Maestro Lumense, mencapai usia 114 tahun.

Lumense adalah penebus diri para pelanggar adat (me'oli). Pelanggaran berdampak pada ketidakseimbangan kosmos, alam, manusia, dan menyebabkan bencana. Nah, ini yang menyeramkan!-maka Lumense menjadi media ritual persembahan. Para bonto menggelar Lumense yang diakhiri pemenggalan (penebasan) leher subyek persembahan, yakni seorang gadis/jejaka. Pada era Islam, subyek tarian diganti ternak, hingga Kiai Haji Daud bin Haji Abdullah Al-Kabaeny menggantinya dengan pohon pisang.

Pementasan seni malam harilah yang paling ditunggu. Warga dan sekolah se-Pulau Kabaena berpartisipasi dalam berbagai lomba selama festival: tari tradisi, permainan, hingga sastra lisan Tumburi'Ou (hikayat/dongeng). Festival tahun depan akan menambah cabang sastra lisan: Kada (epos) dan Mo'ohohi (syair). Itu tiga dari lima sastra lisan Kabaena, selain Ka'Olivi (nasihat/amanah) dan Mo'odulele (syair perkabaran).

Kabaena memang kaya tradisi yang terpelihara. Kedatuan Kabaena lampau punya banyak sejarah dan kisah unik. Selatnya digunakan sebagai rute penting pelayaran rempah Nusantara, hingga dua ekspedisi besar pernah memetakan potensinya: Ekspedisi Sunda, 1911 dan Ekspedisi Celebes, 1929. Ekspedisi yang disebut terakhir itu dipimpin Prof. H.A. Brouwer dan berhasil memperkenalkan batuan mulia (carnelian) Kabaena ke Eropa. Carnelian serta rekaman petrologi pulau ini dipresentasikan oleh C.G. Egeler di Bandung tahun 1946, dan kini tersimpan rapi di Geological Institute, University of Amsterdam.

Peradaban Kabaena punya sistem penanggalan unik yang disebut Bilangari. Almanak bermatriks lunar dengan sembilan varian ini masih digunakan sehari-hari, khususnya menentukan permulaan musim tanam, pelayaran, pernikahan, pendirian rumah, upacara adat, bahkan konon, serta menghitung waktu kelahiran dan kematian seseorang.

Pulau "kecil" ini juga berkontribusi pada sastra Indonesia. Khrisna Pabicara, novelis Sepatu Dahlan, adalah satu dari beberapa penulis Indonesia yang menghabiskan masa kecil hingga SMA di sini. Bambang Sukmawijaya, cerpenis Anita, juga dari pulau ini. Generasi Kabaena sungguh dibesarkan dalam tradisi sastra yang baik.


Ransel: Apa yang Harus Dilakukan



- Waktu kunjungan paling baik ke Kabaena pada Mei-Agustus (musim panen/Po'kotua) dan September-Desember (festival tradisi-budaya).
- Pada bulan-bulan ini, laut begitu teduh.
- Sebaiknya melalui jalur Kendari-Kasipute (via darat + 3 jam) dengan jalan darat yang mulus, dan Kasipute-Kabaena (via laut). Menggunakan jet-foil, waktu tempuh hanya 2 jam. Jet-foil beroperasi pada Selasa dan Sabtu, berangkat pagi pukul 08.00 dan siang pukul 12.00 Wita. Dari Kabaena-Kasipute, jet-foil melayani pada hari yang sama. Dari Kota Baubau, ada juga jet-foil yang melayani jalur ini (Baubau-Kabaena-Kasipute) pada Senin dan Jumat.
- Setiap orang di Kabaena bersedia membantu Anda. Jasa ojek tarifnya murah dan bisa diatur. Penyewaan kendaraan juga ada. Tarif guide tidak dipatok.
- Tidak (belum) ada hotel/motel/penginapan. Tapi setiap rumah warga bisa menjadi home-stay. Mereka tak meminta apa pun dari Anda.
- Untuk hiking, selalu gunakan guide warga lokal untuk menghindari beberapa wilayah larangan (tak boleh dimasuki). Untuk rock-climbing, persiapkan alat dengan baik. Tingkat kesulitan dan kemiringan tebing batu di Gunung Watu Sangia beragam. Formasi batuannya berupa karst muda.

TEMPO

Berita terkait

Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

7 Februari 2023

Teluk Kendari Akan Dikembangkan Seperti Kawasan Wisata Ancol Jakarta

Langkah pengembangan Teluk Kendari itu merupakan bagian dari rencana kegiatan strategis mengenai penanganan Teluk Kendari.

Baca Selengkapnya

Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

13 Desember 2022

Hari Nusantara 2022, Mewujudkan Ekonomi Biru untuk Indonesia Lebih Kuat

Hari Nusantara 2022 bertema "Penguatan Ekonomi Maritim Melalui Kolaborasi Investasi Berkelanjutan untuk Indonesia Bangkit Lebih Kuat" dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai ketua pelaksana. Acara ini berlangsung pada 10-14 Desember 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Baca Selengkapnya

Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

29 Desember 2021

Potensi Wisata Bendungan Ladongi yang Diresmikan Jokowi, Bisa Main Perahu Naga

Bendungan Ladongi berkapasitas 45,9 juta meter kubik dengan luas lahan 222 hektare.

Baca Selengkapnya

Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

25 Mei 2021

Pesona Pasir Timbul di Buton Tengah yang Raih Penghargaan Destinasi Terpopuler

Wisata pasir timbul itu merupakan semacam daratan yang timbul di tengah laut.

Baca Selengkapnya

50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

25 April 2018

50 Homestay Dibangun di Pulau Labengki Sulawesi Tenggara

Pemerintah Kabupaten Konawe Utara bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia membangun 50 homestay di Pulau Labengki.

Baca Selengkapnya

Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

12 April 2017

Dengan Aplikasi Marina Buddies, Turis Diajak Merawat Wakatobi

WWF-Indonesia mengajak pelaku sektor pariwisata turut aktif mengawasi wilayah konservasi perairan Wakatobi dengan aplikasi Marine Buddies.

Baca Selengkapnya

Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

11 April 2017

Dengan Pancing Kedo-Kedo, Suku Bajo Menjaga Kelestarian Laut

Nelayan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, tetap menggunakan kedo-kedo.

Baca Selengkapnya

Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

31 Maret 2017

Prancis akan Bangun Akuarium Raksasa di Teluk Kendari

Prancis melalui Pemerintah Kota La Rochelle membantu pemerintah Kota Kendari membangun akuarium raksasa di kawasan Teluk Kendari.

Baca Selengkapnya

Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

27 Februari 2017

Dibuka, Feri Rute Baru di Wakatobi  

Kementerian Perhubungan berencana membuka rute baru kapal feri lintas Wanci-Kaledupa-Tomia-Binongko, Kabupaten Wakatobi.

Baca Selengkapnya

Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

2 Januari 2017

Ada Wahana Wisata Di Kompleks Pemrosesan Sampah

Untuk mengubah stigma bahwa TPA sampah itu selalu identik dengan
kotor, busuk, dan lain sebagainya.

Baca Selengkapnya