Malioboro, Saksi Bisu Perkembangan Yogyakarta
Senin, 22 Desember 2014 16:24 WIB
INFO TRAVEL - Siapa yang tak kenal wisata Yogya? Mayoritas wisatawan berkunjung ke Yogyakarta untuk menikmati wisata pegunungannya, wisata pantainya, wisata berbelanja, dan tidak ketinggalan wisata kulinernya. Dapat kita bilang untuk wisata kuliner “siapa yang tidak kenal Gudeg?” atau untuk berbelanja “siapa yang tidak tau Dagadu?”. Semua pertanyaan tadi dapat dijawab di satu tempat yang tedapat di Yogyakarta yaitu di Jalan Malioboro.
Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi dan Jalan Jend. A. Yani. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Jika dilihat artinya Malioboro dalam bahasa Sansekerta bermakna karangan bunga. Mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka jalan malioboro akan dipenuhi dengan karangan bunga. Kata Malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal di sana pada tahun 1811-1816 M. pendirian jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).
Dahulu jalan ini hanyalah jalan sepi dengan banyak pohon asam di tepinya dan hanya dilewati warga yang ingin ke keraton, Benteng Vredeburg ataupun ke Pasar Beringhardjo. Tetapi sekarang ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan terbesar di Yogyakarta. Jalan ini penuh dengan aktivitas penduduk sekitar dan juga wisatawan yang datang berkunjung.
Daya tarik yang kuat akan Yogyakarta dan Jalan Malioboro ini, membuat daerah sekitar berkembang pesat. Munculnya aneka usaha, baik kuliner, kerajinan hingga penginapan merupakan efek dari daya tarik tadi. Meningkatnya kunjungan wisata ke kota ini juga semakin menambah peluang bagi para pengusaha penginapan untuk mengembangkan usahanya. Tak heran, jika saat ini dapat ditemukan berbagai jenis penginapan, baik berupa hotel, penginapan melati, dan lain-lain. Dari segi harga, hotel-hotel Yogyakarta yang ada di sekitar jalan Malioboro juga cukup bervariasi, mulai dari premium hingga hotel bertarif murah.
Dengan sejarah arsitektur kolonial Belanda yang dicampur dengan kawasan komersial Cina dan kontemporer membuat jalan Malioboro ini semakin unik dan menarik. Trotoar di kedua sisi jalan juga penuh sesak dengan warung-warung kecil yang menjual berbagai macam barang dagangan. Selain itu, pemandangan dan suasana di malam hari lebih memeriahkan Malioboro dengan dibukanya beberapa restoran lesehan yang beroperasi sepanjang jalan.
Selama bertahun-tahun jalan ini menjadi jalan dua arah, tetapi pada 1980-an telah menjadi salah satu arah saja dari jalur kereta api ke selatan sampai Pasar Beringharjo. Di sini ada Hotel jaman Belanda terbesar dan merupakan yang tertua, yaitu Hotel Garuda yang terletak di ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan dengan jalur kereta api. Selain itu ada juga rumah kompleks bekas Perdana Menteri Belanda, kepatihan yang kini telah menjadi kantor pemerintah provinsi.
Itulah sekilas tentang perkembangan jalan Malioboro. Jalan yang menjadi saksi bisu perkembangan DIY Yogyakarta dari masa ke masa. Sebuah jalan yang bertransformasi dari jalan biasa yang sepi, menjadi jalan utama yang kental akan nilai sejarahnya, ramai suasananya, lengkap pilihan wisatanya, dan tidak ketinggalan penduduknya yang sangat bersahabat. Mungkin inilah yang menjadi alasan kuat bagi mayoritas orang untuk terus kembali ke Yogyakarta, khususnya ke jalan Malioboro yang penuh dengan kenangan.
INFORIAL