TEMPO.CO , Makassar: Pesona gambar-gambar yang kami temukan di Internet, serta kekuatan cerita dari beberapa kawan, mendorong kami mengarungi lautan menuju Pulau Lanjukang. Bayangan keindahan dan uniknya pulau itu mempertebal layar hasrat, sekalipun kapal motor tradisional yang kami tumpangi berkali-kali menabrak ombak.
Setelah kurang-lebih tiga jam perjalanan, kami sampai di pulau yang hanya dihuni 15 kepala keluarga dengan jumlah penduduk kurang-lebih 50 orang itu. Pulau Lanjukang adalah satu dari 12 pulau yang masuk gugusan Kepulauan Spermonde di wilayah Kecamatan Ujung Tanah, sekitar 40 kilometer dari Kota Makassar.
Pulau Lanjukang biasa juga disebut Pulau Lanyukang, seperti yang tertulis jelas di papan teritorial pemerintah wilayah Kota Makassar, yang terdapat di tepi pantai arah kedatangan kami. Ada juga yang menyebutnya Laccukang.
“Lanjukang berasal dari kata lanjutkan,” kata Hasan, warga pulau. Sejak dulu sekali, dia menambahkan, pulau seluas 6 hektare ini sering menjadi tempat transit untuk beristirahat bagi para nelayan yang sedang melaut. “Mereka singgah untuk mandi dan mengambil air tawar.”
<!--more-->
Posisi pulau ini memang yang paling jauh dan terluar. Karena jati dirinya yang hanya lokasi transit, nyaris tak ada fasilitas umum yang bisa ditemui di sekujur Lanjukang. Tak ada sekolah, tak ada puskesmas, juga fasilitas layanan masyarakat lainnya. Yang ada sebatas musala dan sebuah sumur air tawar di tengah pulau, di antara rumah warga. Jika sumur ini kering, warga pulau terpaksa mendatangkan air tawar dari pulau terdekat, atau bahkan dari Makassar.
Jadi jangan harap pula menemukan sinyal jaringan telepon seluler di tempat ini. Semua jadi bisu. Di sisi lain, Pulau Lanjukang seperti mengajak penghuninya untuk menikmati kebesaran Tuhan. Saya pun hanya menggunakan ponsel untuk mengabadikan keindahan setiap sudut Pulau Lanjukang.
Seperti kebanyakan pengunjung, saya datang memang untuk mencari sunyi di Lanjukang. Pemandangan birunya laut berpadu dengan hamparan pasir putih yang luas. Saat senja, pemandangan matahari terbenam di lautan seperti raja—tak ada yang merecoki. Cahaya jingga dari sang surya yang hendak kembali ke peraduannya terlihat sangat manis memantul pada air laut. Sebuah sajian pemandangan yang cukup romantis.
Saat malam mencapai puncak, cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber penerang. Sumber penerangan lampu rumah penduduk dari generator hanya bisa menyaingi hingga pukul 21.00 Wita. Selebihnya, bulan dan bintang yang berkuasa.
<!--more-->
Malam itu, saya dan beberapa teman memilih menggelar tikar di atas hamparan pasir putih, beratapkan langit. Kami bercengkerama diiringi irama ombak yang berlarian dikejar angin. Suasana sunyi yang sempurna, jauh dari kebisingan, keriuhan, juga hiruk pikuk kota. Alam terasa tenang dan lebih damai.
Di pantai ini, selain berenang dan menikmati hamparan pasir putih yang bersih, pengunjung sejatinya juga bisa melakukan snorkeling. Terumbu karang hidup sehat di balik perairan Lanjukang. Itu membuat ikan-ikan menjadi betah.
Jika berkunjung ke Pulau Lanjukang, ada baiknya untuk membawa bekal lebih. Kelebihannya bisa disumbangkan kepada penduduk setempat. Jika punya baju bekas layak pakai dan buku bacaan, juga bisa dibawa serta. Penduduk pulau akan senang menerimanya.
Namun, sebelum berangkat, Anda juga perlu tahu beberapa fakta unik di Pulau Lanjukang. Konon, masyarakat Lanjukang berasal dari legiun veteran Sulawesi Selatan bernama Mamma Bora yang menghuni pulau ini sejak 1942.
Fakta lainnya adalah bentuk fisik warga pulau yang “kerdil”, dengan tinggi maksimal hanya 150 sentimeter. Bentuk fisik ini kabarnya disebabkan oleh penyakit aneh yang diidap turun-temurun karena warga pulau yang saling kawin-mawin.
Meski sedikit berbeda, warga Pulau Lanjukang sangat ramah kepada pengunjung. Namun, jika ingin mengambil gambar mereka dalam bentuk foto maupun video, sebaiknya meminta izin terlebih dulu.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Berburu Senja dari Atap Pencakar Langit
Sate Blekok Khas Gresik
Surakarta Kembangkan Wisata Susur Bengawan Solo