TEMPO.CO, Banda Aceh - Setiap kota selalu punya budaya unik sendiri. Begitu pula Banda Aceh, kota yang dikenal dengan julukan Serambi Mekah. Di kota ini, budaya minum kopi setiap sore selalu menjadi pilihan warga kota paling barat di Indonesia ini.
Pada 1980-an, budaya ngopi di Banda Aceh identik dengan bapak-bapak yang duduk di warung kopi tradisional. Warung kopi ini biasanya hanya toko kecil berisi meja dan kursi. Sebuah dapur tempat penjual meracik kopi terletak di depan pintu masuk.
Baca juga:
Biasanya, kopi pekat dan pisang goreng menjadi pilihan bapak-bapak bersarung itu sambil menunggu waktu salat Magrib tiba. Selain kopi hitam, kopi susu menjadi favorit. Biasanya, orang Aceh menyebut kopi susu dengan nama sanger.
Budaya terus berubah. Sejak awal 2010-an, ngopi sore jadi kegiatan anak muda. Kedai kopi yang dulu tradisional dengan pilihan terbatas kini banyak berubah menjadi kedai kopi modern berkonsep espresso bar.
Kedai kopi semacam ini banyak ditemui di Ulee Kareng, Banda Aceh. "Walaupun kedai kopi kini didominasi anak muda, kopi hitam pekat dan sanger masih disukai," ujar Kasyful Humam, pemilik kedai kopi Tanabata, Jalan Teuku Iskandar, Ulee Kareng.
Di kedai ini, sanger arabika menjadi favorit. Bahan utamanya bubuk kopi gayo. Bubuk kopi diekstrak dengan mesin espresso. Tambahkan susu krimer dengan perbandingan 20 gram susu dan 30 mililiter kopi gayo arabika. Rasa dan aromanya sungguh berbeda.
"Asam khas arabika bercampur manis dari krimer bikin segar," ujar Muhammad Nanda Aulia, pengunjung Tanabata. Sanger arabika dihargai Rp 10 ribu per gelas. Cukup murah ketimbang harga kopi standar di Jakarta seharga Rp 25-40 ribu per gelas.
Tanabata berkonsep open bar. Semua pengunjung bisa melihat proses pembuatan kopi yang mereka pesan. Kopi-kopi gayo arabika tadi ada pula yang diolah dengan manual brew, disajikan panas atau dingin alias cold brew.
Selain Tanabata, kedai kopi lain di Ulee Kareng banyak yang berubah konsep menjadi espresso bar. Dulu dipenuhi orang tua, kini banyak mudi-muda. Ngopi di Banda Aceh menjadi budaya yang patut dicoba.
INDRI MAULIDAR