TEMPO.CO, Lombok - Kuda masih menjadi transportasi utama di Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di sana, kuda lazim disebut cidomo untuk angkut penumpang dan dongol untuk mengangkut barang. Selain menjadi transportasi utama, cidomo menjadi ikon wisata pulau seluas 10 kilometer persegi itu.
Gili Trawangan adalah pulau wisata di barat laut Lombok. Pulau kecil ini didatangi 400 ribu turis setiap tahunnya. Meski dipenuhi wisatawan, penduduk setempat tetap mempertahankan kuda sebagai transportasi utama. Penduduk melarang kendaraan bermotor beroperasi di pulau berpasir putih tersebut. Cidomo biasa dipakai wisatawan untuk berkeliling Gili Trawangan. Tarifnya antara Rp 75-100 ribu sekali jalan. Jumlah cidomo pun dibatasi hanya 32 unit.
Sedangkan dongol dipakai untuk mengangkut barang, seperti material bangunan dan sembako. Dongol pun harus disewa dengan tarif Rp 300 ribu per dump truck. Dongol-dongol itu mengangkut material dari pinggir pantai hingga ke lokasi pembangunan. Kuda-kuda yang dipakai tak sembarangan. Melainkan khusus kuda jenis Sumbawa yang bertumbuh besar.
Kamsun, juru angkut dongol, mengatakan, sudah lima tahun bekerja di Gili Trawangan. Dari pekerjaannya itu, dia mendapatkan upah Rp 1,5 juta. Menurut Kamsun, hanya orang-orang kaya yang bisa berinvestasi dongol di Gili Trawangan. Sebab untuk membeli kuda dan mengurus izin, butuh biaya Rp 300 juta.
Demikian juga dengan cidomo banyak dimiliki oleh orang-orang kaya. Menurut Wildan, kusir cidomo, pendapatan tiap bulan dibagi untuk si pemilik kuda, pakan kuda, dan honor kusir. Seperti halnya Kamsun, Wildan pun hanya bisa menjadi kusir cidomo milik orang kaya. Kenapa tidak memiliki kuda sendiri? “Mahal sekali. Lagi pula sudah ndak bisa lagi nambah kuda. Kuda di sini dibatasi hanya 32,” katanya.
Ternyata bukan harga kuda yang mahal, tetapi mengurus izin dan lain-lain itu yang bisa mencapai Rp 300 juta untuk bisa menaruh seekor kuda di Gili Trawangan. Dus, orang seperti Kamsun dan Wildan hanya bisa jadi kusir.
IKA NINGTYAS