TEMPO.CO, Jakarta - Kota Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki sejarah yang kaya dan panjang, dimulai dari peradaban kuno hingga menjadi pusat perdagangan internasional.
Dilansir dari makassarkota.go.id, pada penghujung abad ke-15, Makassar berkembang sebagai sebuah bandar niaga kecil yang terletak di muara Sungai Tallo, berada di bawah pengaruh Kerajaan Siang. Bandar ini kemudian berkembang pesat setelah Tallo bersatu dengan Kerajaan Gowa pada pertengahan abad ke-16. Penyatuan ini menandai dimulainya ekspansi dan penaklukan wilayah-wilayah sekitar oleh Gowa-Tallo.
Perkembangan kota semakin meningkat setelah pendangkalan Sungai Tallo akibat aktivitas pertanian di hulu sungai, sehingga pelabuhannya dipindahkan ke muara Sungai Jeneberang. Di tempat ini, para ningrat Gowa-Tallo mendirikan istana dan membangun benteng pertahanan yang dikenal sebagai Benteng Somba Opu, yang seratus tahun kemudian menjadi inti dari wilayah Kota Makassar. Pada masa ini, kerajaan mulai membangun kekuatan politik, militer, serta ekonomi, menjadikan Makassar salah satu pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-16, Benteng Rotterdam dibangun dan semakin memperkuat posisi strategis Makassar. Pada masa itu, Makassar berada di puncak kejayaannya, dengan perdagangan yang berkembang pesat, baik secara lokal, regional, maupun internasional. Makassar tidak hanya menjadi pusat perdagangan beras yang diambil dari wilayah agraris di sekitarnya, tetapi juga menjadi pusat pertukaran rempah-rempah dari Maluku serta barang-barang dari Timur Tengah, India, dan Cina. Para saudagar dari berbagai daerah datang ke Makassar, menjadikan kota ini sebagai salah satu pusat perdagangan multikultural di Nusantara.
Keberhasilan Makassar dalam perdagangan turut dipengaruhi oleh perubahan tatanan perdagangan global pada abad ke-16. Setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511 dan perdagangan di Jawa Utara menurun, Makassar muncul sebagai alternatif pusat perdagangan yang baru. Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berhasil merebut Malaka pada 1641, banyak saudagar Portugis yang pindah ke Makassar, memperkuat jaringan perdagangan internasional kota ini.
Makassar tidak hanya penting sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1605, Dato' Ri Bandang, seorang ulama dari Minangkabau, tiba di Tallo dan berhasil mengislamkan Raja Gowa ke-14, I-Mangngarangi Daeng Manrabia, yang kemudian dikenal sebagai Sultan Alauddin. Proses islamisasi ini berjalan cepat, dengan pelaksanaan shalat Jumat pertama di Masjid Tallo pada 9 November 1607, yang kini diperingati sebagai Hari Jadi Kota Makassar sejak tahun 2000.
Seabad setelah pembangunannya, Makassar menjadi salah satu kota terbesar dan terpenting di dunia dengan populasi lebih dari 100.000 jiwa, lebih besar dibandingkan kota-kota besar Eropa seperti Amsterdam pada saat itu. Keberadaan komunitas kosmopolitan di Makassar menjadikannya pusat ilmu pengetahuan dan kreativitas. Para sultan Gowa-Tallo memesan barang-barang mutakhir dari seluruh dunia, termasuk peta dan bola dunia, yang jarang ditemukan di Eropa pada masa itu.
Namun, kejayaan Makassar mulai pudar setelah VOC memutuskan untuk menaklukkan kota ini. Perang Makassar yang berkepanjangan akhirnya berakhir pada tahun 1669, ketika VOC dan sekutunya berhasil menghancurkan Benteng Somba Opu dan merebut kendali atas kota. Perjanjian Bungaya yang ditandatangani setelah kekalahan ini menandai runtuhnya Kerajaan Gowa, dan Makassar jatuh di bawah kekuasaan VOC. Pelabuhan kota ditutup bagi pedagang asing, dan perdagangan internasional yang dulu makmur mulai meredup.
Meskipun kota Makassar mengalami kemunduran setelah berada di bawah kekuasaan VOC, perdagangan lokal tetap berjalan. Pada abad ke-18, pelabuhan Makassar mulai dibuka kembali bagi kapal-kapal dagang Tiongkok yang tertarik pada komoditas laut seperti teripang, sisik penyu, dan sarang burung walet. Kegiatan maritim ini mendorong kebangkitan ekonomi kota, dengan para nelayan dari Sulawesi mulai mengeksplorasi hingga pantai utara Australia.
Pada tahun 1846, Makassar dihidupkan kembali oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pelabuhan bebas. Volume perdagangan meningkat pesat, dan Makassar berkembang menjadi bandar internasional sekali lagi. Jumlah penduduk kota meningkat dari sekitar 15.000 jiwa pada pertengahan abad ke-19 menjadi lebih dari 30.000 jiwa pada awal abad ke-20. Pada masa ini, Makassar dikenal sebagai salah satu kota terindah di Hindia-Belanda, dengan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Selama masa penjajahan Belanda, Makassar menjadi pusat pemerintahan kolonial di Indonesia Timur. Pertumbuhan ekonomi dan populasi kota berkembang pesat selama tiga dekade terakhir abad ke-19. Pada tahun 1906, Makassar secara resmi dideklarasikan sebagai kota madya. Namun, perubahan drastis terjadi setelah Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar penduduk asing meninggalkan kota, dan pada akhir 1950-an, perusahaan-perusahaan asing dinasionalisasi.
Pada tahun 1971, Makassar berganti nama menjadi Ujung Pandang. Namun, pada tahun 1999, nama Makassar diresmikan kembali sebagai nama kota, dan sejak itu, Makassar terus berkembang menjadi salah satu kota metropolitan utama di Indonesia.
MYESHA FATINA RACHMAN I MUTIARA ROUDHATUL JANNAH
Pilihan editor: Alasan Presiden BJ Habibie Kembalikan Nama Makassar Hari Ini 25 Tahun Lalu